Menyambut awal oktober wajah Kabupaten Pacitan kian kering, seirama dengan kemarau yang telah memasuki pertengahan. Masyarakat di beberapa wilayah khususnya barat kota yang berada di kawasan Karst pun mulai kesulitan memperoleh air bersih, ditandai dengan datangnya surat permohonan droping air ke Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Pacitan.
Merujuk data kemarau panjang tahun 2019, sebanyak 174 wilayah di 54 desa mengalami kering kritis, langka dan langka terbatas. Suka tidak suka warga terpaksa menggantungkan diri terhadap droping air dari BPBD maupun relawan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Kepala BPBD Pacitan Didik Alih Wibowo mengatakan, pihaknya pada tahun tersebut bahkan telah mengirim 7000 tangki bervolume 4000 dan 5000 liter air. “5 armada kami bergerak siang malam,” katanya mengingat, saat berkesempatan meninjau bantuan Penampungan Air Hujan (PAH) atau Absah di Dusun Jaten, Pelem, Pringkuku. Tandon raksasa dari bantuan fisik Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Bengawan Solo kemarin (14/09).
Bantuan setahun lalu tersebut bersifat menampung air pada saat musim hujan yang diambil dari talang-talang rumah. Setelah melalui berbagai proses, PAH tersebut dapat menampung hingga 800.000 liter air. “Pembangunan tampungan raksasa ini kira-kira menghabiskan dana Rp. 300 juta,” lanjutnya menaksir.
Sementara merujuk pantauan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) kemarau di tengah pandemi covid-19 ini berstatus kering basah, meski demikian volume air hujan ataupun gerimis tidak cukup menghidupkan sumber air, kondisi ini dimungkinkan berakhir hingga Desember mendatang.
Lalu bagaimana jika bantuan PAH di Desa Pelem tersebut dilipatgandakan di 174 wilayah melalui kemandirian pemda, asumsi kasar beton penampung tersebut akan menghabiskan dana Rp 52,2 Miliar.
Bersambung (Bag. 2)