Terus Bangun PLTU Picu Kematian Dini Puluhan Ribu Orang, di Asia Tenggara, Indonesia Terbesar

0
440
Tampak corong PLTU Jepara, menyemburkan asap mengandung berbagai zat beracun yang menyebar ke mana-mana terutama lingkungan sekitar. Foto: dari video Greenpeace

Kepulan asap keluar dari cerobong pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara di Jepara, Jawa Tengah. Lepas dan menyebar di udara. Setiap hari, terlebih kemarau, rumah-rumah sampai tanaman warga penuh debu. Ada sebagian warga pindah rumah karena tak tahan polusi dan menderita sakit pernapasan terutama anak-anak mereka. Itu sebagian kecil gambaran warga kala ada PLTU batubara. Ada puluhan pembangkit batubara di Indonesia, bahkan bakal bertambah.

Universitas Harvard bersama Greenpeace Internasional pada 13 Januari 2017, meluncurkan penelitian terbaru soal kematian dini pertahun di negara-negara Asia Tenggara, Korea, Taiwan dan Jepang dampak pembangkit pembangkit listrik batubara. Di Asia Tenggara, negara terparah Indonesia disusul Vietnam.

Penelitian itu menyebutkan, kala rencana pembangunan PLTU batubara berlanjut, emisi di Asia Tenggara, Korea Selatan dan Jepang akan naik tiga kali lipat pada 2030 dengan konsentrasi peningkatan terbesar di Indonesia dan Vietnam.

Dengan begitu, pembangkit batubara ini bakal menciptakan 70.000 kematian dini setiap tahun. Disebutkan, Indonesia akan menderita tertinggi kematian dini, diikuti Vietnam, lalu Myanmar pada 2030.

“Kami memperkirakan, puluhan ribu kematian dini dapat dihindari melalui pilihan energi lebih bersih. Biaya kesehatan manusia ini harus dipertimbangkan serius ketika membuat pilihan tentang masa depan energi di Asia Tenggara,” kata Shannon Koplitz, peneliti utama dalam proyek dari Harvard University, dalam rilis kepada media .

Riset ini juga menghitung kalau tak ada pembangunan pembangkit baru di neraga-negara itu, sekitar 50.000 nyawa bisa diselamatkan setiap tahun sampai 2030.

Penulis riset ini dari kelompok pemodelan Sains Atmosfer Universitas Harvard , Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Harvard dan Greenpeace memetakan emisi saat ini dari semua PLTU batubara di wilayah-wilayah itu. Mereka menggunakan model atmosfer canggih untuk menilai seberapa banyak tingkat polusi udara dampak emisi batubara di lokasi berbeda di seluruh Asia.

Sebelum itu, Univeristas Harvard dan Greenpeace Asia Tenggara berjudul Ancaman Mau PLTU Batubara rilis pada 2015. Riset itu mengungkap,  operasi PLTU batubara di Indonesia, menyebabkan kematian dini 6.500 jiwa per tahun. Angka ini dari penelitian 42 PLTU di Indonesia.

Indonesia mencanangkan tambahan pembangkit batubara sekitar 22.000 MW—bagian proyek 35.000 MW—kalau jalan, prediksi kematian dini di Indonesia, melonjak jadi 15.700 jiwa per tahun atau 21.000 –an dengan negara tetangga.

Kematian dini itu antara lain karena, 2.700 jiwa kena stroke, 300 kanker paru-paru, 2.300 jantung insemik, 400 paru obstuktif kronik, dan 800 orang lain terkena penyakit pernafasan dan kardiovaskular.

Laporan serupa memperlihatkan, PLTU batubara di Vietnam menyebabkan sekitar 4.300 kematian dini per tahun, di Thailand pembangkit batubara ini menyebabkan kematian dini sekitar 1.550 orang per tahun.

Arif Fiyanto, Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara mengatakan, para pemimpin dan  pengambil kebijakan di negara-negara Asia Timur dan Asia Tenggara termasuk Indonesia,  harus menyadari ketergantungan batubara yang sangat tinggi mempercepat laju perubahan iklim.

Dia bilang, meneruskan konsumsi batubara dengan level seperti sekarang, berarti makin menambah potensi bencana perubahan iklim.

Negara-negara di Asia Tenggara ini bukan tak ada pilihan lain.  Mereka, katanya, punya kesempatan beralih cepat dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan.

Vietnam, katanya, sudah mengambil langkah awal dengan membatalkan 17 pembangkit batubara besar, mengurangi dampak kesehatan hingga lebih seperempat andai rencana ekspansi batubara semula terjadi.

Tiongkok dan India, juga sudah membuktikan bahwa pengembangan sumber energi terbarukan masif sangat mungkin selama ada kemauan politik pemerintah.

Dengan begitu, katanya, harga listrik terbarukan yang kerap jadi alasan energi bersih lamban, dan mandek, katanya,  sudah terbantahkan.

“Saat ini di berbagai negara dunia harga listrik energi terbarukan seperti surya dan angin ada lebih rendah daripada harga listrik PLTU batubara,” katanya kepada Mongabay.

Untuk Indonesia, katanya, memang punya target peningkatan energi terbarukan 25% sampai 2030. Target ini, kata Arif, mungkin tercapai, kala pemerintah mau meninjau ulang rencana pembangunan pembangkit batubara. Kala pemerintah bersikeras bangun PLTU sesuai rencana, katanya, target 25% mustahil tercapai.

Menurut dia, belajar dari model pembangunan energi di negara-negara lain, hambatan terbesar pengembangan energi terbarukan karena subsidi masif pemerintah kepada batubara dan bahan bakar fosil lain.

Selama pemerintah masih memberikan subsidi dan jaminan politik serta keuangan terhadap bahan bakar fosil, katanya, mustahil energi terbarukan bisa bersaing.

Asia Tenggara,  salah satu daerah cepat berkembang di dunia. Proyeksi kebutuhan listrik pada 2035 naik 83% dari 2011, lebih dua kali rata-rata global. Banyak negara di wilayah ini masih mengejar pembangkit batubara baru, hingga tertinggal dari Tiongkok dan India.

Tiongkok, sebelumnya emitor karbon terbesar dunia, memperlihatkan penurunan keseluruhan konsumsi batubara dan emisi polutan sejak 2013. Tren terus berlanjut.

Sedangkan negara-negara maju, hanya Jepang dan Korea Selatan terus membangun pembangkit batubara baru. Kondisi ini bertolak belakang dengan komitmen iklim dan kekhawatiran mereka mengenai kesehatan masyarakat.

Tumpukan batubara untuk PLTU Rum, Kota Tidore Kepulauan. Pulau-pulau nan jauh dari sumber batubara yang kaya energi terbarukanpun, tetap dijejali dengan energi kotor PLTU batubara, dengan alasan klasik energi terbarukan mahal. Foto: M Rahmat Ulhaz

Tumpukan batubara untuk PLTU Rum, Kota Tidore Kepulauan. Pulau-pulau nan jauh dari sumber batubara yang kaya energi terbarukanpun, tetap dijejali dengan energi kotor PLTU batubara, dengan alasan klasik energi terbarukan mahal. Foto: M Rahmat Ulhaz

Sumber