Seribu Tahun Kematian Joyoboyo, Tanda-Tanda Itu Nampak Nyata

0
653

Saiful Islam, tinggal di dieng

Keprihatinan raja besar Jayabaya bahwa suatu saat dihampir 1000 tahun ke depan dari masa hidupnya, orang jawa akan kehilangan jawanya demikian besarnya. Hingga beliau yang bijaksana dan agung ini memberikan ciri-ciri zaman yang demikian ruwetnya. Agar kita anak cucu cicitnya ke depan melampaui zamannya pada eling dan waspada.

Di era ratusan tahun ke depan ini digambarkan secara fisik, Jawa atau Indonesia, dimana Jawa menjadi poros gravitasinya, akan kalungan wesi sebagai tanda kemajuannya. Artinya rel kereta api akan melintas batas menghubungkan Kota dengan Kota, Kabupaten dengan Kabupaten, Provinsi dengan Provinsi. Jawa akan terhubung dengan Madura. Tentu saja artinya Jembatan Suramadu yang menghubungkan Jawa dan Madura. Ada suara tanpa rupa. Maksudnya tv, hp dan radio. Ada kereta yang doyan makan sambel. Artinya mobil sebagai sarana transportasinya dimana sopirnya suka makan sambel.

Namun ada tanda kemunduranya. Yakni pasar akan hilang ramainya. Perannya digantikan oleh mall, supermarket dan minimarket. Belakangan menggilanya start up ikut menggemboskan peran pasar tradisional dan digantikan pasar modern dan maya.

Namun ada yang secara moral memprihatinkan. Merebaknya kejatuhan etika kehidupan masyarakat secara umum. Salah satunya banyak orang yang jual ilmu, orang baik disia-sia, orang jahat dipuja-puja, penjahat makin sejahtera sedang yang lurus makin merana, banyak pembunuhan secara gampangan, banyak yang ingkar janji dan hal-hal serupa yang membuat kita mengelus dada.

Karena itu perlulah kita mengingat siapa kita dan warisan apa dari khazanah masa lalu yang bisa jadi pedoman kehidupan kedepan dengan memperbaiki keadaan kita hari ini. Menjadi orang Jawa begitu samar dan tersembunyi makna Jawa. Sebab artinya tidak hanya menunjuk pada salah satu suku bangsa di pulau nusantara. Namun ada makna halus dan harmonis yang tersirat dibelakangnya.

Menjadi jawa atau orang jawa umumnya dikenal secara rasa dengan menjadi sopan, rendah hati dan rukun. Banyak sesepuh dan orang tua kita mengingatkan ini secara turun temurun. Meski dengan bawaan arti yang penuh kiasan dan tersirat. Tidak jelas. Baru jelas dan keluar artinya jika kita melakukan hal yang sebaliknya. Yaitu dengan laku yang kasar,angkuh dan menantang kebanyakan akan dicap bahwa kita tidak njawani.

Maka mengembalikan jati diri, laku dan rasa jawa kita adalah dengan menjalankan perbuatan yang tidak mengundang cemoohan bahwa kita tidak lagi jawa. Sangkan paraning dumadi. Semenjak azali seorang anak jawa sadar siapa dirinya, berasal dari mana dan mau kemana. Sebab ini adalah patok pangkal langkah kaki sebelum mulai. Karena bagi orang jawa urip mung mampir ngombe .Hidup hanya mampir minum. Maka bukanlah dunia ini tujuannya. Dari Sang Hyang Widhi asal semuanya keluar, kepada Ia pula segalanya pulang kembali.

Hasilnya ia takkan tamak, sedih dan lupa daratan karena dunia hanya panggung dan akhirat adalah penghabisan. Ngunduh wohing pakarti Jika saudara Hindu mengenal karma. Saudara Barat mengetahui kausalitas. Saudara Kristen percaya buahnya perbuatan. Muslim memegang prinsip muhasabah.

Orang Jawa telah memiliki asas perbuatan dan akibatnya dengan istilah ngunduh wohing pakarti. Artinya orang jawa akan berhati-hati dan senantiasa menghitung lakunya. Ia tidak bisa girang senang begitu saja. Sebab akibat menunggu di perempatan jalan perbuatan.

Asas kehidupan ini akan membawanya sadar akan hukuman meski tanpa hukum dan pengawasan aparat. Ajining diri saka lathi, ajining raga saka busana. Setiap makhluk ada harga dan martabat. Pohon pada buah dan kesetiaannya menancap di tanah. Hewan pada kelincahan dan ketangkasannya bertahan hidup. Mineral dan batu-batuan harkatnya pada kekerasan dan kemilau warnanya. Maka manusia sempurna ada pada martabat lisan dan busananya. Lidah adalah tali kepercayaan orang. Busana adalah akar kesusilaan. Baiknya masyarakat pada baiknya lisan. Elok dan sopannya manusia pada makin elok dan santunnya manusia. Ngono yo ngono nanging yo ojo ngono. Terjemahannya begitu ya begitu namun ya jangan begitu. Ini adalah prinsip dan asas keseimbangan sosial, mental dan badaya bangsa.

Dirumuskannya prinsip ini adalah agar menjadi asas dan juklak dalam berbuat dan bertindak tetap dalam batasan yang alamiah dan wajar. Tidak melakukan kebiasaan yang melampaui kepantasan dan kepatutan yang normal. Begitu batas gaib ini dilangkahi maka akan lahir hal-hal menyimpang yang menjadi kebalikan kewajarannya.

Desa mawa cara negara mawa tata. Jika konfusius datang di negeri cina hendak melakukan apa yang beliau sebut sebagai usaha “memperbaiki nama-nama”. Yaitu upaya memperbaiki hubungan pemimpin dan rakyatnya, suami dan isterinya, orang tua dan anaknya, tetangga dengan tetangganya. Maka jawa juga mempunyai tradisi kebijaksanaan serupa yang berbunyi desa mawa cara negara mawa tata. Bahwa segala tatanan dan keteraturan punya pakem dan aturannya sendiri. Mulai dari Negara, Provinsi, Kabupaten,Kota hingga Desa, Dusun dan Nagarinya. Untuk itu diperlukan ilmu menata negara dan pemerintahan disegala tingkat. Juga ilmu menata diri, keluarga dan masyarakat. Pola dan ketertiban ini harus dijaga dan dirawat baik-baik agar segala sesuatunya berjalan imbang, berhasil dan tahan lama. sumber sekdes.com