Kesan yang paling saya ingat dan selalu membekas dari sosok Wan Taufik adalah sikapnya dalam menghormati tamu. Ia tidak sungkan melayani sendiri tamunya. Bahkan kepada santrinya sendiri.
Perlakuan itu pernah saya rasakan saat masih di Tremas. Suatu ketika saya ditimbali untuk membetulkan kabel jaringan internet di ndalemnya. Beberapa hari fasilitas Wifi disana tidak bisa dipakai. Dan ternyata ada kabel yang putus.
Lewat SMS Wan Taufik nimbali saya. Dan segera saya datang ke ndalermnya dengan membawa perlengkapan yang saya punya, tank krimping, konektor RJ45, dan kabel tester.
Belum juga saya mengerjakan tugasnya, Wan Taufik justru langsung menawari saya untuk minum.“Awakmu arep ngombe opo?,”
Saya diam tidak berani menjawab. Saya merasa “pakewuh/ rikuh” untuk menjawab.
Ia kemudian mengambil air mineral gelasan dan menyuguhkannya kepada saya. “Wes ngombe sik”.
Tak hanya itu, kepada salah satu abdi dalemnya, ia meminta untuk menyiapkan jajanan gorengan untuk saya. Lagi-lagi saya dibuat pekiwuh. Padahal pekerjaan yang beliau minta belum saya kerjakan.
Singkat cerita, setelah saya memperbaiki kabel yang putus dan saya cek koneksi internetnya sudah normal lagi. Saya bermaksud izin pulang, sebab pekerjaan saya sudah selesai. Namun perlakuan berbeda lagi-lagi ditampakkan oleh Wan Taufik. “Dolan ning kene sik”.
Akhirnya saya kembali duduk dan ngobrol cukup lama dengan Wan Taufik. Dirasa cukup, saya lalu bermaksud pamit. Betapa kagetnya saat hendak bersalaman, tangannya sudah memegang uang dan hendak diberikan kepada saya. Tentu saja saya menolak dengan halus dan tidak bisa menerimya. “Mboten. Saestu Mboten Wan,”
Sampai beberapa hari, saya masih terheran-heran. Saya bukan seorang tenaga profesional yang setelah memperbaiki sesuatu kemudian mendapat upah. Saya hanya seorang santri, yang kapanpun bila ditimbali harus siap datang dan sangat merasa tidak pantas bila diperlakukan secara istimewa seperti itu.
Tapi itulah sikap yang ditunjukkan oleh Wan Taufik. Seorang yang memiliki nasab mulia, sebagai dzuriyyah rosul bermarga “Ba’bud”. Namun tetap rendah diri dan menganggap dirinya sebagai orang biasa. Sama seperti sikap yang ditampakkan oleh embah-embahnya.
Para dzuriyyah Rosul di Tremas adalah figur-figur yang sangat sederhana. Kesederhanaan itu tercermin dari sikapnya yang lebih memilih menyembunyikan identitasnya sebagai seorang keturunan Rasulullah.
Perlakuan ini membuat saya teringat pada sosok Alm Wan Najmi, yang tak lain adalah saudara kandungnya. Perlakuan sama pernah saya rasakan saat beberapa kali ditimbali Wan Najmi untuk mengerjakan suatu pekerjaan. Sama persis.
Dan pagi-pagi sekali, saya mendapat kabar dari Tremas, sosok Wan Taufik bin Habib Tohir Ba’bud sudah ditimbali pulang kehadirat Allah SWT karena sebab sakit dan sempat di rawat di salah satu rumah sakit di Solo.
Saya bersaksi, Panjenengan piyantun sae, sae dan sae.
Al Fatihah.
Zaenal Faizin
Pict : Alm Wan Taufik (Kedua dari kiri) tampak gemujeng dalam sebuah acara.