Catatan Belanda; Patjitan 2 Kali Diterjang Tsunami

0
74

Bukan untuk memupuk ketakutan sehingga timbul phobia, isu gempa dan gelombang tsunami yang dimungkinkan terjadi karena adanya pertemuan dua lempeng besar Indo-Australia dan Eurasia di pesisir selatan pulau Jawa harus disikapi positif. Masyarakat harus mengenal situasi ini, sekaligus mengembalikan mindset bahwa realitas masyarakat Kabupaten Pacitan memang berdiri di atas tanah dengan segudang potensi bencana.

Oleh sebab itu Tim Liputan Diskominfo Pacitan melalui berbagai laman resminya menyambut baik timbal balik pembaca yang meminta penajaman artikel yang berjudul, “Siapkah Jika Megathrust di Selatan Jawa Pecah Sewaktu-waktu” terbit pada (29/09). Sehingga kian kaya wawasan akan kebencanaan.

Merujuk sejarah, Belanda diam-diam mencatat fakta bahwa Patjitan nama ejaan Pacitan saat itu sempat dihantam 2 kali gelombang besar. Kejadian pertama terjadi pada awal tahun 1840, gelombang pasang itu juga didahului dengan gempa bumi. Selanjutnya gempa yang disusul gelombang besar terjadi saat jelang magrib, pada 20 Oktober tahun 1859.

Melihat fakta ini sebanyak 27 desa menjadi perhatian pemerintah melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Pacitan, desa-desa tersebut berada di dataran rendah berhadapan dengan samudera Hindia. “Yang berada di dataran tinggi tentu menjadi pengecualian,” ungkap Kasi Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Pacitan Diannita Agustinawati (02/10).

Dari ujung barat Kecamatan Donorojo desa-desa tersebut meliputi Desa Sendang, Kalak, Widoro. Kecamatan Pringkuku, Dadapan, Candi, Poko, Jelubang, Dersono dan Watukarung. Kecamatan Pacitan, Desa Sirnoboyo, Kembang, Sidoharjo, Ploso.

Beralih ke timur kota mulai Kecamatan Kebonagung, Desa Worawari, Sidomulyo, Klesem, Katipugal, Plumbungan, Kalipelus, Karangnongko. Kecamatan Tulakan, Desa Jetak. Kecamatan Ngadirojo, Desa Sidomulyo, Hadiwarno. Dan Kecamatan Sudimoro, Semberejo, Pagerlor, Pagerkidul dan Sukorejo.

Menurut perhitungan kasar, warga pesisir yang harus melakukan evakuasi mandiri mencapai 20 persen dari total populasi penduduk Pacitan, atau kira-kira 100 ribu orang. Sementara sebagian diantaranya adalah kelompok rentan yang perlu dibantu saat proses evakuasi saat kejadian. “Masyarakat harus peka melihat kanan kiri, disitu ada lansia, balita, disabilitas menjadi prioritas untuk ditolong,” kata Dian.

Selebihnya jumlah kelompok rentan tersebut belum ditemukan jumlah pastinya, BPBD dalam waktu dekat akan berkomunikasi dengan Badan Pusat Statistik (BPS) Pacitan untuk memperoleh jumlah bulatnya dan memang harus terus di update karena faktor fluktuasi data.

Prakiraan Institut Teknologi bandung (ITB) memperkirakan gempa dapat mencapai 9 skala richter, kemudian disusul gelombang tsunami yang mencapai 20 meter. Ini merupakan skenario terburuk, skenario ini dapat terjadi manakala pecahan tumbukan kedua lempeng mengakibatkan pecahan dari ujung barat pulau Jawa hingga Banyuwangi. “Merujuk para ahli inikan siklus,” lanjut Dian.

Lalu seperti apa situasi tersebut jika dibanding dengan banjir siklon tropis 2017 silam, Dian memperkirakan kerusakan yang ditimbulkan tidak serata bencana 3 tahun lalu. Meski sekali lagi gempa dipastikan bisa dirasakan seluruh wilayah, hanya saja ketinggian tsunami cukup mengancam wilayah pesisir dataran rendah.

Profesor Ron Harris yang sempat datang langsung ke Pacitan dalam penelitiannya tahun 2016 lalu, memperkirakan gelombang tsunami yang masuk ke daratan sejauh 2 sampai dengan 3 kilometer dari bibir pantai. Jika merujuk pada prakiraan tersebut pusat kota dan pemerintahan masih berstatus aman, lantaran jaraknya 5 kilometer dari pantai.

Ini juga didukung Sabuk hijau atau green belt sebagai penahan kecepatan gelombang di sepanjang teluk Pacitan, saat ini kondisi kelebatan cukup baik. Bersyukur di Indonesia pemilik sabuk hijau terbaik adalah teluk Pacitan dan Banyuwangi.

Masyarakat yang tinggal di bantaran sungai menjadi perhatian selanjutnya, sebab aliran sungai ibarat jalan tol bagi gelombang tsunami,
Selengkapnya di pacitankab.go.id