PLTU Pacitan Datang, Sumber Kehidupan Nelayan Teluk Kondang Nyaris Hilang (Bagian 1)

2
557

Ombak laut selatan silih berganti menghantam pemecah gelombang di Teluk Bawur, milik PLTU Pacitan.  Beberapa puluh meter dari situ sebuah kapal tongkang sarat muatan batubara bersandar.

Muatan batubara itu dipindahkan memakai belt conveyor, disimpan di shelter coal yard—mirip hangar pesawat.

Cat dominan biru. Jarak dari tongkang batubara hingga coal yard sekitar 500 meter. Di dekatnya, ada dua pembangkit, dan cerobong menjulang tinggi.

Sekitar dua kilometer ke arah timur, rumah Misnadi, warga Sumberejo, Sudimoro, Pacitan, berada. Ada bola-bola pelampung dan jaring menggantung di teras, menandakan si empunya seorang nelayan.

Mulanya, dia kerap mendatangi teluk yang dikenal dengan Teluk Kondang ini. Kini,  Misnadi tak pernah lagi mencari ikan dan udang di sana.

Sejak pembangunan PLTU Agustus 2007, perlahan dia dan sesama nelayan Sumberejo menghindari area itu. PLTU telah mengubah peta daerah tangkapan ikan nelayan. Padahal, di sanalah Misnadi dan kawan-kawan mencari sumber kehidupan.

Nelayan resah. Hubungan mereka dengan PLTU menegang. Untuk mencegah konflik, pendekatan dilakukan aparat Muspika kepada nelayan. Mereka menemui Misnadi, saat itu menjabat Ketua Kelompok Nelayan Sumberejo.

“Saya bilang yang namanya cari makan, ditembak saja orang berani. Akhirnya, dibuat shift. Kalau orang proyek sedang bekerja, kita berhenti. Kalau mereka berhenti, kita mencari ikan di sekitar sana,” katanya.

Meski ada kesepakatan itu, nelayan terutama dari Karangturi, Karangrejo, Ngobyok enggan ke sana. Nelayan yang mau sandar terhalang banyak kapal proyek.

“Dengan PLTU aktivitas terbatas. Masang jaring tak bisa, perahu lalu lalang, juga tak enak. Petugas keamanan dari desa sini. Ujung-ujungnya nelayan menyingkir,” katanya.

Tongkang batubara usai bongkar muat. Batubara buat pasok PLTU Pacitan. Foto: Nuswantoro

Tongkang batubara usai bongkar muat. Batubara buat pasok PLTU Pacitan. Foto: Nuswantoro

Bagi Misnadi, Teluk Kondang adalah sumber kehidupan utama. Dulu, kala musim ramai, hasil tangkapan udang pernah Rp12 juta sehari. Pendapatan rata-rata kini berkisar Rp200.000 per hari.

Untuk mendapatkan hasil sepadan, kini dia terpaksa melaut lebih jauh ke tengah hingga 25 mil (kurang lebih 40 km). Kadang masuk ke Pantai Panggul, Trenggalek, karena pembatasan area tangkapan ke timur tak seketat barat.

Seperti ada kesepakatan tak tertulis antara mereka, nelayan suatu wilayah tak bisa seenaknya mencari ikan di tempat yang bukan wilayahnya.

Nelayan kecil seperti Misnadi menangkap kakap merah, tongkol, pari, teri, cumi-cumi, udang windu, dan layur. Saat paceklik ikan, Misnadi menggarap lahan. Dia menanam pisang, padi, dan ketela.

“Sehari bisa dapat ikan satu hingga dua kwintal, pakai jaring kambangan. Semua nelayan juga dapat. Akibatnya harga ikan jatuh.”

Saat ramai ikan, satu kg tongkol paling Rp3.000, kala sepi, bisa Rp15.000.

Misnadi biasa melaut pukul 16.00, dan mendarat sekitar pukul 21.00. Kalau berangkat pagi, dia bergegas keluar rumah pukul 3.30,  dan pukul 9.00-10.00 siang sudah pulang.

Dia bilang, bersama beberapa nelayan pernah menanyakan ke PLTU terkait wilayah sumber tangkapan utama ikan dan udang. Bersama Kepala Desa Sumberejo, Muspika, dan kelompok nelayan mereka mendatangi kantor pembangkit.

“Saya sampaikan dampak pembangunan bagi penghidupan nelayan. PLTU memberi kompensasi Rp26 juta,” katanya.

Uang sebanyak itu dibagi Rp6 juta untuk membantu murid nelayan, Rp15 juta alat-alat tangkap, sisanya pengeluaran lain.

“Nelayan menuntut uang kompensasi Rp6 juta per tahun. Dijawab PLTU tak janji dan tak harus sebanyak itu. Setelah ganti pengurus ke yang muda-muda, itu tidak ditanyakan lagi.”

Uang kompensasi buat nelayan belum terealisasi, meski pengurus telah berganti.

“Rencananya, Rp6 juta itu dibagi tiga kelompok nelayan. Setiap kelompok sekitar 40 nelayan.”

PLTU Pacitan berlatar belakang Samudera Indonesia. Foto: Nuswantoro

PLTU Pacitan berlatar belakang Samudera Indonesia. Foto: Nuswantoro

* * * * *

Namanya Sucipto. Dia membentuk forum buat menjembatani antara masyarakat Sudimoro, pekerja, dan PLTU bernama Masker (Masyarakat dan Pekerja Sudimoro). Sucipto adalah Koordinator cleaning service PLTU Pacitan.

Dia bersedia saya temui di Cagak Telu, puncak bukit kapur yang menjadi rest area dan lokasi terbaik memandang panorama pembangkit dari kejauhan.

“Kalau sudah sampai, SMS. Jangan menelepon karena di sana (PLTU) bising, suara telepon kurang jelas,” katanya melalui telpon saat saya membuat janji bertemu.

Sekitar pukul 11 siang, Kamis, (20/10/16), kami ketemu di salah satu warung di Cagak Telu. Sucipto ternyata mantan legislator DPRD Pacitan dua periode, 1999-2004 dan 2004-2009.

“Saya masuk PLTU baru sekitar tiga tahun. Waktu itu saya diminta ngopeni anak anak. Ya sudah saya ikut saja,” katanya.

Menurut dia, banyak tenaga kerja dari luar Sudimoro menimbulkan kecemburuan. Dia menilai, sumber daya manusia daerah sekitar PLTU belum siap.

“Dari tenaga teknis, mesin, listrik, belum siap. Jumlah tenaga lokal di jajaran (manajemen) sedikit sekali. Dari tenaga kasar cukup banyak. Tenaga cleaning dan lain-lain. Itu memang kita tekan, untuk tenaga itu dari masyarakat Sudimoro,” katanya, seraya bilang dampak positif ada PLTU masyarakat bisa kerja.

PLTU Pacitan resmi beroperasi 16 Oktober 2013. PLTU yang didisebut-sebut bisa menyerap tenaga kerja lokal, ternyata pekerjaan yang tersedia untuk mereka bukan posisi manajer, apalagi direksi.

Seperti anak Jemingan, warga Sumberejo, menjadi tenaga lepas, tukang las. Bekerja kalau PLTU membutuhkan. Sehari dibayar Rp90.000.

“Daripada menganggur di rumah. Biar ada kegiatan,” katanya. Anaknya lulusan teknik. Jemingan adalah petani.

Rumah mereka di pinggir Jalan Lingkar Selatan (JLS), yang menghubungkan Kota Pacitan dengan Kota Trenggalek, dan rencananya tersambung hingga ke Banyuwangi.

Misnadi, nelayan Pacitan, yang merasakan langsung dampak hasil tangkap ikan sebelum dan setelah ada PLTU. Foto: Nuswantoro

Misnadi, nelayan Pacitan, yang merasakan langsung dampak hasil tangkap ikan sebelum dan setelah ada PLTU. Foto: Nuswantoro

Selain menyediakan lapanan kerja baru, sejumlah warung makan muncul di beberapa titik dekat PLTU. Salah satu di Cagak Telu itu. Lokasi lumayan ramai. Selain didatangi para pelintas yang ingin beristirahat, warung makan juga melayani kebutuhan makan minum para pekerja. Di antara warung itu, juga ada masakan China.

Saat pemasangan mesin dari Tiongkok, sejumlah pekerja negeri tirai bambu itu didatangkan ke Sudimoro. Barak-barak mereka dibangun di seberang timur Sungai Bawur. Kini sudah rata dengan tanah.

Konsorsium perusahaan asal Tiongkok, Dongfang Electric Company dan perusahaan lokal, PT Dalle Energy yang merancang, pengadaan, dan konstruksi (engineering, procurement, construction).

Dongfang diketahui menandatangani kontrak EPC bersama PT DSSP Power (Grup Sinar Mas), membangun PLTU Batubara 2 x 100 MW di Kalimantan Tengah pada 15 Juni lalu.

Dalam catatan Greenpeace, Tiongkok salah satu negara yang menetapkan moratorium tambang batubara baru. Tiongkok mulai meninggalkan PLTU batubara, beralih ke energi terbarukan. (Bersambung)

Kompleks PLTU. Foto: Nuswantoro

Kompleks PLTU. Foto: Nuswantoro

sumber