Apa boleh buat. Marahnya harus diulang sekali lagi. Padahal massa dan ‘’Jawa Pos’’ sudah berdamai. Sudah jabat tangan. Marah terpaksa diulang, karena teknologi informasi.
—-
Suasana di kabin Garuda Indonesia petang itu berbeda dengan biasanya. Ada 40 orang penumpang yang ‘’tiba-tiba’’ membaca koran ‘’Jawa Pos’’. Bukan koran resmi. Itu koran yang saya bawa sendiri. Saya bagi-bagikan kepada rombongan tamu yang saya pandu.
Berita utama ‘’Jawa Pos’’ hari itu sungguh berani. Tentang skandal korupsi di BUMN. Yang menyeret nama beberapa tokoh. Ada juga kyai. Berita itu awalnya muncul di majalah berita mingguan ‘’Tempo’’. Koran ‘’Jawa Pos’’ meneruskan isu itu.
Hari itu, pada tahun 2000, saya menjadi ‘’tour leader’’ untuk 40 tamu istimewa: 10 eksekutif biro iklan dari Jakarta. Masing-masing mengajak 3 orang klien. Perusahaan yang selalu beriklan di ‘’Kompas’’. Tapi belum pernah sekali pun memasang iklan di ‘’Jawa Pos’’.
Strategi itu saya jalankan sejak tahun 1999. Setiap dua minggu sekali, saya undang 10 biro iklan dan 30 pemasang iklan. Berkunjung ke Surabaya. Melihat percetakan ‘’Jawa Pos’’. Melihat sendiri order cetak hari itu. Mengecek distribusi koran pagi itu. Dan mewawancarai agen-agen koran secara langsung.
Berangkat jumat petang. Melihat percetakan dan distribusi mulai sabtu tengah malam. Dilanjutkan nongkrong di beberapa bursa koran. Setelah istirahat di hotel, sorenya pergi berwisata. Ke Bromo.
Sebagai general manager pemasaran iklan ‘’Jawa Pos’’ di Jakarta, saya menghadapi persoalan besar: salahnya persepsi tentang penetrasi media di Jawa Timur.
Saat itu, pemasang iklan merasa ‘’sudah selesai’’ kalau sudah beriklan di ‘’Kompas’’. Persepsi itu terbentuk karena pemahaman ‘’koran nasional’’. Anggapan itu sudah melegenda sejak dekade 70-an.
Tetapi menjelaskan hal itu tidak mudah. ’’Ngecap’’ hingga berbusa-busa pun tak akan banyak membantu. Pasti biro iklan dan klien akan menilai: penjual kecap pasti bilang kecapnya nomor satu.
Saya tidak mau dicap begitu. Maka, saya susun strategi ‘’media visit’’. Biar biro iklan dan pemasang iklan itu tahu sendiri. Bagaimana peta pasar koran di Jawa Timur. Biar tahu sendiri, apakah benar klaim ‘’koran nasional’’ itu masih relevan.
Dari Bandara Juanda, rombongan langsung beristirahat di hotel. Awalnya, rombongan dijadwalkan singgah sebentar ke kantor redaksi. Beramah-tamah dengan pimpinan redaksi dan direksi.
Tapi ada sedikit masalah. Pukul 17:00, kantor pusat ‘’Jawa Pos’’ di Graha Pena Jalan Ahmad Yani digeruduk massa. Kabarnya anggota Banser. Mereka tersingguh karena berita skandal korupsi yang terbit pagi itu. Yang menyeret-nyeret nama kyai.
Tidak mungkin saya bawa rombongan tamu ke Graha Pena dalam suasana seperti itu. Saya putuskan langsung ke hotel. Tidak lewat Jalan Ahmad Yani, tetapi berputar lewat Surabaya Industrial Estate Rungkut (SIER).
Untung saat itu belum ada media sosial. Peristiwa di Graha Pena yang heboh itu pun tak langsung tersiar. Yang ada hanya SMS. Tapi, tamu-tamu saya kan belum ada yang pernah berhubungan dengan ‘’Jawa Pos’’? Aman.
Setelah beristirahat di hotel, acaranya makan malam. Kali ini, tempat makan saya pindahkan ke restoran yang ada live music-nya. Biar acara makan malamnya lebih lama. Agar begitu selesai makan langsung balik hotel. Tidur.
Sembari menemani rombongan makan malam, saya heboh sendiri. Berulang kali saya menelepon redaksi. Menanyakan perkembangan situasi dan kepastian kunjungan ke percetakan.
Saya lemes. Ketika mendengar kepastian bahwa koran ‘’Jawa Pos’’ tidak bisa terbit besok pagi. Seluruh jaringan telepon mati. Kabel-kabelnya dicabuti para demonstran. Ruang redaksi tak bisa digunakan.
Perundingan berjalan alot. Baru kelar tengah malam. Keputusan malam itu: ‘’Jawa Pos’’ tidak bisa terbit. Redaksi juga wajib membuat berita ralat serta permintaan maaf pada hari kedua.
Malam itu, koran ‘’Suara Indonesia’’ yang pernah saya tangani bersama Auri Jaya diblok hitam pada seluruh halaman pertama. Hanya ada satu judul berita: Jawa Pos tidak terbit hari ini. Tanpa artikel.
Koran ‘’Suara Indonesia’’ inilah yang saya ambil. Lalu saya selipkan lewat celah pintu kamar hotel. Tempat tamu-tamu saya menginap. Saya tambahi selembar surat permintaan maaf, karena ada masalah serius yang membuat ‘’Jawa Pos’’ tidak bisa terbit.
Keputusan ‘’tidak terbit’’ ternyata tidak diikuti percetakan ‘’Jawa Pos’’ di luar Surabaya. Saat itu, ‘’Jawa Pos’’ merupakan koran paling modern di Indonesia. Satu-satunya koran yang cetak jarak jauh di banyak kota.
Di Jawa Timur cetak di Banyuwangi dan Madiun. Di Jawa Tengah cetak di Solo. Di Jakarta cetak di Bekasi. Di Kalimantan Timur cetak di Balikpapan dan di Kalimantan Selatan cetak di Banjarmasin. Semua terhubung secara online. Menggunakan jaringan satelit Palapa.
Meski kantor Surabaya diduduki massa, lalu lintas pemberitaan tidak terhenti. Karena semua database berita disimpan di server. Tidak di storage komputer redaksi. Data bisa diakses dari mana saja.
Begitu kantor redaksi Surabaya lumpuh. Kantor redaksi Jakarta, semua kantor koran ‘’Radar’’ Jawa Timur dan Jawa Tengah turun tangan. Bahu-membahu. Layout ‘’Jawa Pos’’ dikerjakan gotong-royong antarkota-antarprovinsi.
Percetakan ‘’Jawa Pos’’ di Surabaya hari itu memang berhenti. Tetapi percetakan di luar Surabaya tetap beroperasi seperti biasa. Jawa Pos hilang di pasar Surabaya. Tapi tetap beredar di luar kota.
Masih terbitnya ‘’Jawa Pos’’ hari itu, tentu kembali menyulut emosi. Maka, massa kembali menduduki kantor ‘’Jawa Pos’’. Kesepakatan pun diperbaiki: berlaku di koran yang dicetak di semua percetakan ‘’Jawa Pos’’ seluruh Indonesia. Tidak hanya berlaku untuk hasil percetakan Surabaya saja.
Pelajaran penting dari peristiwa itu adalah terbukanya mata publik tentang majunya teknologi informasi ‘’Jawa Pos’’ saat itu. Dan, yang mengejutkan saya, peristiwa itu justru membuat biro iklan dan pemasang iklan semakin percaya pada kekuatan ‘’Jawa Pos’’.(joko intarto)