Tiga Bisnis dengan Pantangan

0
85

Oleh: Joko Intarto

Restoran Raja Pecak di Kota Tangerang itu sepi. Pada jam makan siang Selasa kemarin, hanya ada lima tamu. Yang tiga rombongan saya.

Dulu, rumah makan itu besar. Dengan taman yang indah. Berkonsep restoran kebun. Bekas-bekas tamannya masih ada. Tapi sudah rusak. Tak terawat lagi.

Saya mulai ragu ketika memasuki halaman rumah makan itu. Pada sisi kiri dan kanan pintu gerbang digunakan untuk berjualan kambing dan sapi qurban.

Masuk lebih dalam lagi, hanya ada sebuah saung. Yang kayunya sudah lusuh. Berdebu. Seperti sudah jarang dikunjungi. Tapi Yopi, teman saya yang asli Tangerang, terus meyakinkan: Raja Pecak adalah rumah makan khas Betawi dengan citarasa terbaik.

Penjelasan Yopi seperti paradoks. Terbaik kok sepi? Terbaik kok kumuh? Terbaik kok tak terawat?

Tapi nama Raja Pecak lebih menggoda. Saya ingin tahu, seperti apa kelezatan masakannya. Apakah layak menyandang nama Raja Pecak?

Tiga puluh menit kemudian, tiga porsi pecak gabus tersaji di meja. Di ruang makan utama yang plafonnya sudah bolong.
Seekor gabus seukuran lengan saya di setiap piring. Bumbunya banyak. Jahe iris, cabai merah, tomat muda, blimbing sayur, asam jawa, sereh, laos, daun jeruk dan daun salam. Semua bertaburan, seperti menjadi toping ikan gabus yang dibelah dua itu. Yang separoh tenggelam dalam kuah berwarna kemerah-merahan.

Ini pecak gabus pertama yang pernah saya lihat. Yang versi bumbunya sangat lengkap. Dan berani. Biasanya, pecak dengan bumbu pahe alias paket hemat. Hanya ada bumbu jahe muda dengan cabai.

Saya cicipi satu per satu. Mulai dari kuahnya. Hm… segar. Manis, asin, gurih dan pedas. Memang enak tenan. Skor: 8. Berikutnya, sambal terasinya. Saya coba dengan cocolan tahu dan tempe. Pedasnya level 4. Skor: 8.

Aneh. Untuk restoran dengan citarasa masakan dengan skor 8, mengapa seperti rumah makan yang tidak laku? Saya tanyakan hal itu kepada Yopi. Tapi dosen Universitas Muhammadiyah Tangerang itu tak punya jawaban.

Selesai makan, petugas restoran melintas. Saya buru-buru memanggilnya. Untuk bertanya: mengapa restorannya sepi, sementara masakannya enak? ‘’Restoran ini terlalu sering ganti-ganti koki,’’ jawabnya.

Baru sekitar 3 bulan terakhir, Raja Pecak punya koki baru yang bertahan sampai sekarang. Koki itu tak lain karyawan yang saya interogasi. Sejak kehadirannya, satu per satu pelanggan Raja Pecak kembali. Tapi masih jauh. Bila dibandingkan dengan zaman kejayaannya dulu.

Koki memang asset berharga bagi sebuah restoran. Rumah makan bisa maju karena koki. Hancur juga karena koki. Ini pernah saya alami sendiri tahun 1999.

Saat itu, saya punya usaha bakwan malang. Namanya: Kapiten. Outletnya sudah belasan. Becaknya belasan. Gerobaknya belasan. Omset penjualan harian rata-rata Rp 6 juta. Omset akhir pekan bisa 8 juta.

Kabar saya punya bisnis kukiner sampai di telinga Pak Dahlan Iskan. Boss saya saat itu. Suatu saat, Pak Dahlan memanggil saya. Saya perkirakan, Pak Dahlan akan marah. Karena bekerja di Jawa Pos tidak boleh merangkap-rangkap. Termasuk merangkap punya usaha sendiri.

Aneh. Pak Dahlan tidak marah. Dia hanya memberi nasihat. Mengutip filsafat dagang orang Tionghoa. Yang bersumber pada cerita lama, ratusan tahun sebelum Masehi. ‘’Ada tiga bisnis yang tidak boleh dikerjakan, kalau tidak bisa mengerjakan sendiri,’’ kata Pak Dahlan.

Nomor satu: bisnis salon. Nomor dua: bisnis penjahitan baju. Nomor tiga: bisnis restoran. Ketiga bisnis ini akan ambruk kalau pemiliknya tidak bisa mengerjakan sendiri.

Padahal dalam bisnis bakwan Malang, saya hanya bisa menjadi tester. Bagaimana cara memasaknya, saya tidak tahu. Semua saya percayakan kepada seorang koki.
Tapi saya tenang-tenang saja. Toh sudah berjalan beberapa bulan. Bisnis berjalan baik-baik saja.

Beberapa bulan berjalan, tiba-tiba koki saya pergi. Pindah ke pengusaha lain, yang juga punya bisnis bakwan Malang. Semua koki pembantu ikut pergi. Termasuk pegawai di bagian penjualan.

Saya kelimpungan. Bisnis yang sedang tumbuh bagus tiba-tiba berhenti. Sementara saya tidak tahu bagaimana cara membuat bakwan Malang. Tidak tahu racikan bumbunya.

Akhirnya bakwan Malang Kapiten itu mati. Dan tidak pernah bisa dibangkitkan lagi. Sampai hari ini. (jto)