EO Bencana

0
97

Di lokasi gempa Lombok inilah saya tahu istilah baru: EO bencana. Istilah ini diberikan kepada lembaga yang hanya mengeksploitasi penderitaan para korban gempa untuk mencari sumbangan di kota lain. Lewat pembuatan konten berita, features dan video-video yang menyayat hati. Menjadi lampiran proposal yang diedarkan di sana-sini.

Kata teman-teman relawan di lokasi, EO bencana itu sangat profesional. Begitu bencana terjadi dan masyarakat mulai mengungsi, mereka sudah buka posko. Lengkap dengan brandingnya. Dengan tim medianya.

Ketika para relawan sibuk menolong korban, EO bencana sibuk syuting, foto-foto dan wawancara. Ekspose besar-besaran dilakukan untuk menggalang dana. “Tapi hanya dua hari saja mereka di lokasi. Selebihnya poskonya kosong melompong,” kata Pak John, relawan Johari Zein Foundation yang sudah sebulan belum pulang ke rumahnya di Malang, Jawa Timur.

Yang menarik, ketika tahu ada pejabat penting akan datang, poskonya tiba-tiba hidup lagi. Ada orangnya lagi. Dilengkapi alat-alat yang memadai. Begitu pejabat pulang, posko ditutup lagi.

Luar biasa. Kata Pak John, orang-orangnya sangat terlatih. Kerjanya rapi. Tapi aksi sosialnya sepi. Sumbangannya? “Tidak ada bunyi,” kata Pak John.

Saya tiba di Lombok sebulan setelah masyarakat mengungsi. Memang hanya tinggal beberapa lembaga yang masih bertahan dan melayani korban di sana. Itulah lembaga filantropi yang bukan EO bencana.

Dalam perjalanan menuju lokasi, saya bertemu dengan tim relawan Muhammadiyah Dissaster Management Center (MDMC) yang berkolaborasi dengan Lazismu membangun posko di 11 lokasi. Salah satunya: Ade Irvan Nugraha, relawan dari Bandung.

Ade ini luar biasa dedikasinya. Ia tetap bertahan menjalankan tugasnya, walau kiosnya di Bandung ludes dilalap api. Ade (paling kanan) tidak menunjukkan rasa sedihnya. Ia tetap penuh semangat melayani korban bencana. Padahal, sumber penghasllan keluarganya sekarang sudah menjadi abu.

Salut untuk Ade.