Saya pernah menunggu bus jurusan ke Pacitan, sejak pukul 6 petang hingga 11 malam tapi bus tak kunjung datang. Pernah juga mendapati bus yang beberapa menit lagi hampir berangkat. Tapi setelah naik ke atas kabin bus, saya tidak kebagian tempat duduk alias sudah penuh. Padahal itu bus terakhir ke Pacitan.
Pernah naik bus sambil menahan pipis selama perjalanan sampai Pacitan karena armada yang saya tumpangi tidak ada toiletnya. Pernah juga naik bus ekonomi (lupa nama busnya) yang sudah agak udzur. Kecepatnya mungkin hanya 40-60 KM/jam.
Suatu ketika pernah naik bus lewat terminal Terboyo Semarang tapi akhirnya kena perangkap calo hingga harus membayar dua kali lipat ongkos bus. Hehehe.
Pengalaman seru naik bus dengan berbagai cerita itu selalu terulang di pertengahan bulan Syawal, saat saya hendak berangkat ke pesantren. Dan pengalaman ini mengiringi cerita susah senang saat nyantri di pesantren yang berada di ujung barat daya Jawa Timur, antara tahun 2005-2009.
Bagi saya, bus adalah moda transportasi darat yang nyaman dan murah. Kendaraan yang dirancang untuk mengangkut banyak penumpang ini menjadi partner bepergian saya selama 10 tahun terakhir. Memang ada banyak moda transportasi yang tersedia. Tapi bus masih menjadi yang ternyaman bagi “wong cilikan”, seperti saya.
Apalagi sekarang, armada bus sudah diremajakan dan fasilitasnya lumayan lengkap. Beberapa di antaranya bahkan memiliki fasilitas premium untuk memanjakan para penumpangnya.
Bagi santri Tremas yang berasal dari sekitar pantura, termasuk daerah saya, Batang, Jawa Tengah, pasti memiliki bus langganan yang kapan saja bisa ditumpangi untuk menuju ke Pacitan. Salah satunya adalah bus Aneka Jaya.
Saya yakin, sebagian besar santri Tremas pernah menumpang bus ini bila hendak mudik atau balik. Karena memang bus ini yang mendominasi trayek angkutan bus di Pacitan. Baik route Pacitan-Solo, Pacitan-Jakarta atau Pacitan-Surabaya.
Kembali ke cerita perjalanan balik ke pesantren, Saya biasa berangkat ke pesantren pada malam 15 Syawal. Dan insya Allah belum pernah molor. Karena memang pada pagi harinya, saya sudah harus sampai di pondok untuk mengikuti kegiatan’ Iftitahuddirasah atau pembukaan tahun pelajaran baru.
Di Tremas, tanggal 15 Syawal adalah tanggal yang boleh dibilang sakral. Sudah sejak zaman embah-embah dulu, tanggal ini dijadikan start awal dimulainya tahun pelajaran baru.
Saya kurang begitu faham, apa alasan para Masyayikh memilih tanggal itu. Wallahu a’lam. Yang penting pada tanggal itu setiap santri harus sudah berada di pondok. Termasuk saya. Demikian aturan yang berlaku.
Keberangkatan saya kembali ke pesantren tidak pernah diantar oleh orang tua. maklum sudah bukan lagi “santri anyaran” hehe..Saya berangkat dengan beberapa teman satu kampung. Di jalan, biasanya saya bertemu dengan kang santri dan mbak banat dari daerah Indramayu, Cirebon, Tegal, dan Pekalongan yang memang memilih berangkat pada tanggal yang sama.
Saya memilih menjadi “penumpang tetap” bus Aneka Jaya yang dari arah Jakarta ke Pacitan. Bus yang diawaki oleh sopir dan kondektur yang terkenal ramah itu memang mengaspal di jalan raya Pantura hingga saat ini. Melewati pantura Batang, Kendal, Semarang, terus naik ke Solo, Wonogiri hingga tujuan akhirnya di Pacitan.
Bus yang memiliki warna dasar putih dan bergaris merah itu biasa transit di rumah makan Larasati, terletak persis di seberang selatan jalur Pantura Weleri, atau beberapa ratus meter setelah jembatan kali Kutho, perbatasan Kabupaten Batang dan Kendal.
Biasanya bus tiba di rumah makan ini sehabis magrib sampai kira-kira jam 9 malam. Tergantung kondisi jalananya, macet atau tidak. Bila jalanya lancar, bus akan datang lebih awal. Dan itu juga berlaku sebaliknya. Karena memang saat itu belum dibangun Tol Trans Jawa seperti sekarang.
Saya sengaja start atau naik dari rumah makan Larasati, sebab bus jarang berhenti bila distop di kawasan alas Roban Banyuputih. Padahal jarak rumah saya dengan rumah makan itu cukup jauh. Sekitar 45 menit kalau naik motor. Tapi no problem, yang penting dapat menumpang bus ke Pacitan.
Berangkat dari Weleri sekitar jam 9, bus akan sampai di terminal Pacitan sekira pukul 03.00 hingga menjelang subuh. Dan sambil menunggu pagi, biasanya saya memilih tiduran di mushola terminal atau kadang mampir di warung kopi di kawasan kios terminal.
Pengalaman naik bus adalah pengalaman yang mengasyikkan. Ada keistimewaan tersendiri ketika kita bisa dekat dengan awak bus. Selain punya teman baru, perjalanan pun jadi jauh dari rasa bosan karena ada teman ngobrol.
Bus Aneka Jaya bagi saya adalah sahabat perjalanan. baik perjalanan mudik atau balik. Saya memilih bus ini, antara lain karena harga tiketnya yang terjangkau, cocok dengan kantung santri. Awak bus juga ramah dan sopan. Pelayanan cukup memuaskan. Tidak pernah “ngeblonk”. Ini yang membuat saya terkesan. Salut!
Kenangan bersama bus Aneka Jaya tidak pernah bisa hilang, walaupun saya sudah tidak tinggal lagi di Pacitan.
Saya yang rindu naik bus.
(Zaenal Faizin) Batang, 12 Juni 2020