Apa yang Anda bayangkan tentang anak-anak muda itu? Mereka adalah lima insinyur lulusan universitas terbaik di luar negeri melalui beasiswa setelah lulus dari Institut Teknologi Bandung.
Setelah kembali ke Tanah Air, mereka terjun di bisnis solusi energi surya. Sungguh keputusan yang sangat berani dan agak tidak masuk akal.
Rezim energi listrik saat ini hanya mengenal PLN sebagai penjual setrum tunggal. Sementara PLN dirundung persoalan karena oversupply daya listrik pembangkit swasta.
Mereka menjalankan bisnis dengan sebuah keyakinan: Cepat atau lambat, akal sehat akan menemukan jalannya sendiri. Sinar matahari yang gratis sepanjang tahun itu akan menjadi sumber energi pilihan ketika sumber-sumber lain makin mahal.
Tiga tahun mereka berjuang dari nol. Dari sebuah model bisnis yang baru berupa angan-angan. Ketika lembaga keuangan tidak punya skema pembiayaan murah untuk solar panel dan inverter. Bahkan untuk penduduk miskin sekali pun.
Kini mereka mulai bisa bernafas lega. Kerja keras itu ternyata tidak sia-sia. Beberapa kontrak pemasangan pembangkit listrik independen bertenaga surya mereka dapatkan. Dari total 90 MWP yang terpasang secara nasional pada tahun 2019, mereka memasok sepuluh persennya. Semua konsumennya kalangan swasta. Ada pembeli residensial. Ada pula pembeli industri.
Kini mereka membuat target baru. Target instalasdi tahun 2020 harus naik tiga kali lipat. Menjadi 30 MWP.
Optimisme mereka terekam jelas dalam rapat perdana dengan saya sore tadi. Dalam rapat kilat 10 menit itu mereka menunjuk Jagaters untuk memproduksi buku ”Meraih Bintang”.
Dalam buku inilah, kisah tiga anak petani desa alumni Poltek Jember bisa Anda nikmati. Dalam buku ini pula saya akan menuliskan beberapa karya mereka seperti pabrik es batu bertenaga surya untuk membantu para nelayan di pulau terluar yang belum terjangkau listrik PLN.
Banyak cara untuk mencintai Indonesia. Nasionalisme memang menjadi omong kosong kalau hanya berteriak-teriak NKRI harga mati tanpa punya karya.(jto)