Menggugat Youtuber

0
125

Dua perusahaan yang bernaung dalam kelompok usaha MNC itu menggugat UU Penyiaran. RCTI dan iNews meminta agar ketentuan UU Penyiaran juga diberlakukan untuk semua pembuat konten yang bersiaran langsung di media online. Benarkah karena industri media TV tengah sekarat?
——

Gemerlap tayangan di layar kaca itu ternyata berbanding terbalik dengan kenyataan di belakangnya. Setahun terakhir ini, para pelaku industri penyiaran TV tengah mencari jalan agar perusahaannya tidak mati.

Pengurangan karyawan dilakukan secara besar-besaran. Menayangkan konten-konten Youtube digencarkan. Tapi hasilnya hanya mengurangi ongkos perusahaan. Tidak menambah pemasukan.

Situasi kian sulit sejak pandemi Covid-19 melanda. Iklan makin sedikit. Sementara biaya produksi dan operasi jalan terus. Stasiun TV bermodal cekak mulai kehabisan nafas.

Beberapa di antaranya sudah berhenti bersiaran. Kalau pun ada yang bersiaran, daya pancarnya sangat kecil. Sekedar untuk memenuhi persyaratan. Kalau-kalau ada inspeksi mendadak dari Balai Monitoring (Balmon). Maklum, siaran itu berkaitan dengan izin.

Sebenarnya penyakit yang melanda stasiun TV bukan baru sekarang. Gejalanya sudah dirasakan sejak empat tahun silam. Yakni ketika jaringan internet berkecepatan tinggi mulai bisa dinikmati publik dengan harga lebih ekonomis. “Empat puluh persen anak muda tidak lagi menonton siaran televisi melalui televisi fisik, tapi melalui gadget mereka,” ujar Ketua Umum Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Ishadi SK, dalam Seminar Jurnalistik dan Produksi Kreatif Program Televisi di Grha Sabha Pramana UGM, Kamis (28/4/2016).

Perubahan cara menonton siaran video melalui streaming, menjadi ancaman serius bagi stasiun TV yang bersiaran menggunakan frekuensi. Agar tidak kehilangan penonton, stasiun TV ramai-ramai ikut bersiaran secara online. Platform yang paling popular adalah Youtube.

Meski demikian, siaran secara online tidak serta merta membuat stasiun TV berhasil meraih penonton yang tinggi. Stasiun TV harus bersaing dengan para Youtuber alias pembuat content di Youtube.

Mayoritas Youtuber adalah orang-orang awam yang tidak pernah bekerja di stasiun TV. Alat kerjanya pun sangat sederhana. Hanya handphone. Belakangan, Youtuber yang sudah mulai menikmati hasil, meningkatkan kualitas alat produksinya dengan membangun studio sederhana.

Walau bisa bersiaran secara online, Youtuber hanya perlu punya email. Tidak punya izin siaran. Sebab untuk siaran di platform online memang tidak perlu izin siar. Izin siar hanya diberlakukan untuk lembaga penyiaran yang bersiaran menggunakan frekuensi publik. Semua frekuensi untuk penyiaran dikuasai negara. Negaralah yang mengatur perizinan bagi pihak-pihak yang akan menggunakannya.

Maka stasiun radio dan TV wajib memiliki izin siaran. Untuk menggunakan frekuensi, stasiun radio dan TV juga harus membayar biaya setiap bulan ke kas negara. Beda banget dengan Youtuber. Untuk bersiaran tidak perlu izin. Untuk menggunakan kanal Youtube juga tidak perlu sewa.

Tidak cukup sampai di situ. Pemerintah juga mengawasi konten yang disiarkan stasiun radio maupun TV. Bila ada konten bermasalah, stasiun TV atau radio itu akan disemprit Komisi Penyiaran Indonesia.

Perbedaan perlakuan ini yang sepertinya membuat RCTI dan iNews gusar. Kok Youtuber bisa siaran dengan bebasnya? Kok tidak pakai izin? Kok tidak perlu sewa kanal? Kok tidak dalam pengawasan KPI? Padahal sama-sama bersiaran video? Padahal sama-sama bisa mendapat duit dari pemasang iklan?

RCTI dan iNews sebagai pemohon menggugat Pasal 1 angka 2 UU 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang menyebut, “Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.”

Bagaimana menurut Anda?(jto)