Dapat Bisnis Dulu, Apes Kemudian “Digeruduk Massa Gara-Gara Berita (3)”

0
101

Gara-gara kantor ‘’Jawa Pos’’ biro Jakarta di Jalan Kebayoran Lama digeruduk massa PDIP tahun 1999, saya jadi juragan bakso Malang.
—-

Siang itu kantor Jawa Pos biro Jakarta penuh massa demonstran. Mereka mengaku pendukung PDIP dan pembaca tabloid ‘’Demokrat’’. Kedatangan mereka bukan untuk mendemo ‘’Jawa Pos’’, melainkan tablod ‘’Amanat’’.

Saat itu, Presiden BJ Habibie membuka kran pendirian partai politik. Lebih dari 70 partai berdiri. Tapi yang bisa ikut pemilu hanya 54. Selebihnya tidak lolos.

Lahirnya partai politik baru berimbas ke tubuh ‘’Jawa Pos’’. Sebagian wartawannya memiliki kecenderungan untuk mendukung partai politik baru tersebut. Pak Dahlan Iskan mencium gelagat itu. Maka, diputuskan untuk mendirikan koran-koran baru. Mengakomodasi kecenderungan wartawannya. Agar ‘’Jawa Pos’’ tetap netral.

Djoko Susilo (almarhum) memimpin tabloid ‘’Amanat’’. Berafiliasi ke Partai Amanat Nasional. Herry Akmadi memimpin tabloid ‘’Demokrat’’. Berafiliasi ke Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Syaifullah Yusuf memimpin harian ‘’Duta Masyarakat Baru’’. Berafilisasi ke Partai Kebangkitan Bangsa. Hadi Mustofa Djuraid memimpin tabloid ‘’Abadi’’. Berafiliasi ke Partai Bulan Bintang.

Keempat media partisan itu dikelola dari gedung yang sama. Bahkan sebagian komputernya dipakai bergantian. Telepon redaksinya menggunakan nomor yang sama. Percetakannya sama. Mobil distribusinya sama. Bahkan tenaga kolektor dan pemasarannya sama. Hanya wartawannya yang berbeda.

Belakangan, ‘’Duta Masyarakat Baru’’ dan ‘’Abadi’’ berpisah kantor. Mendapat pinjaman dari konstituennya masing-masing. Tinggallah tabloid ‘’Amanat’’ dan ‘’Demokrat’’ yang menempati kantor di Jalan Kebayoran Lama Nomor 12 Jakarta Selatan itu. Satu gedung dengan ‘’Jawa Pos’’.

Nah, suatu ketika, tabloid ‘’Amanat’’ menurunkan berita yang menyinggung massa PDIP. Tabloid ‘’Demokrat’’ menyerang balik. Saling serang dua redaksi media itu berujung penggerudukan.

Saya baru tiba siang itu. Ketika massa sedang panas-panasnya berorasi. Menuntut tabloid ‘’Amanat’’ meminta maaf. Mencabut berita yang sudah diterbitkan.

Pada saat itulah, saya melihat seorang pedagang bakwan Malang yang sedang kebingungan. Dagangannya ludes. Tapi duit yang dia terima kurang. Mangkoknya pun banyak yang hilang.

Rupanya sebagian demonstran yang kelaparan membeli bakwan. Belum selesai makan, sudah ikut demo lagi. Mangkoknya dibawa. Berikut isinya. Lalu orangnya ‘’hilang’’. Pedagang bakso itu pun kebingungan. ‘’Saya bingung orangnya yang mana? Semua pakai kaos merah,’’ kata pria asal Bojonegoro bernama Badrun itu.

Hari mulai gelap. Demonstran sudah pulang. Tapi Badrun masih bertahan. ‘’Saya tidak berani pulang. Setoran saya kurang,’’ kata Badrun.

Terusik dengan nasibnya yang apes, saya berinisiatif memberi bantuan. Kekurangan setorannya sebesar Rp 900 ribu saya tutup. Mangkoknya yang semula dikira hilang akhirnya ketemu. Semua pecah. Mungkin terinjak-injak. Kerugian Rp 200 ribu.

Malamnya, Badrun balik ke kantor saya lagi. Menanti saya pulang. Untuk mengucapkan terima kasih. Plus tawaran bisnis: buka usaha bakso Malang. Saya langsung tertarik, setelah dia menceritakan pekerjaannya di dapur sebagai juru masak.

Akhirnya, berdirilah bakso malang Kapiten. Plesetan dari Karapitan. Dimulai dari 10 gerobak dan 5 becak. Dalam setengah tahun, berkembang menjadi 15 gerobak dan 10 becak. Plus 5 outlet bakso di food court gedung perkantoran. Ada 35 orang yang bekerja. Mengontrak dua rumah besar di kawasan Kampung Melayu Kecil.

Kabar saya jadi juragan bakso Malang rupanya sampai ke telinga Pak Dahlan Iskan. Kepada saya, Pak Dahlan tidak melarang saya buka usaha. Hanya memberi nasihat. Konon dari cerita lama masyarakat Tionghoa. ‘’Ada tiga usaha yang harus dihindari, kecuali Anda menjadi ahlinya,’’ kata Pak Dahlan.

Tiga usaha itu masing-masing: penjahit, salon dan restoran. ‘’Tiga jenis usaha itu sangat mengandalkan keahlian orang di belakangnya. Kalau orang itu pergi, sementara kita bukan ahlinya, maka habislah bisnis kita,’’ kata Pak Dahlan.

Saya tidak bisa memasak bakso Malang. Bahkan tidak tahu bumbunya apa saja. Semua bergantung pada Badrun. Juru masak saya satu-satunya. Sekaligus pemimpin grup pedagang. Yang semua didatangkan dari kampungnya. Di Bojonegoro.

Suatu ketika, saya mendapat telepon dari pengelola food court. Dia menanyakan mengapa hari ini tidak buka konter. Saya kaget.

Rupanya, hari itu Badrun dan teman-temannya tidak bekerja. Saya kira libur. Ternyata, semua beralih partner dengan pengusaha lain. Usahanya sama: bakso Malang.

Hingga berminggu-minggu kemudian, saya mencoba mencari juru masak baru. Tapi tidak ada yang bisa memasak seenak Badrun. Usaha bakso Malang Kapiten akhirnya tutup pada usia 8 bulan. Dengan kerugian puluhan juta plus utang-utang dagang. Apes.(joko intarto)