Lihat baik-baik keyboard komputer dan smartphone Anda. Perhatikan letak huruf ‘’B’’ dan ‘’N’’. Gara-gara posisi itulah, ‘’Jawa Pos’’ digeruduk massa tahun 1991.
—
Kos-kosan saya dekat dengan kantor ‘’Jawa Pos’’ di Karah Agung, Surabaya. Hanya ‘’seperokokan’’ saja. Kalau jalan kaki.
Tapi saya lebih sering menginap di kantor. Ada tempat tidurnya. Ada bantalnya yang wangi. Dan ber-AC.
Kalau beruntung: dapat makan malam gratis. Hasil rebutan dengan wartawan, redaktur dan karyawan lay out. Yang masih bertugas saat deadline.
Setelah membaca berita dari koran pertama yang baru keluar dari mesin cetak, saya tidur. Bangun sebentar untuk salat subuh, lanjut tidur lagi.
Pukul 07:00, kantor sudah berisik. Beberapa petugas cleaning service mulai mengepel dengan mesin yang suaranya berdesing-desing. Tandanya saya harus pulang. Siap-siap liputan.
Tiba di parkiran, petugas Satpam menahan saya. Tidak boleh pulang. Karena saya satu-satunya wartawan di kantor pagi itu. ‘’Kantor kita dikepung massa. Pintu pagar dikunci,’’ kata Satpam.
Saya longok dari kejauhan. Massa menyemut di luar pintu pagar. Ratusan orang. Sebagian bersorban. Ada juga sejumlah polisi dan aparat Kodam yang mengendalikan situasi keamanan. ‘’Mereka protes berita hari ini,’’ kata Satpam.
Segera saya buka koran yang saya baca semalam. Berita apa yang membuat massa marah? Saya baca berulang kali. Tidak ada berita yang aneh. ‘’Katanya tulisan babi di dalam berita,’’ kata Satpam.
Aha! Saya langsung paham. Hari itu menjelang peringatan Maulid. ‘’Jawa Pos’’ menerbitkan sebuah artikel yang terkait dengan hari bersejarah itu. Ini pasti karena ‘’B’’ dan ‘’N’’ yang bersebalahan.
Ternyata benar. Artikel di ‘’Jawa Pos’’ itu salah ketik. Harusnya ‘’N’’ terketik ‘’B’’. Meski sudah melewati dua tahap: redaktur dan copy editor (editor Bahasa), salah ketik itu lolos. Terbitlah kesalahan di koran pagi itu.
Makin siang, massa makin banyak. Satpam tampak sibuk menghubungi para pimpinan ‘’Jawa Pos’’. Mengabarkan peristiwa pengepungan kantor. Beberapa karyawan bagian administrasi saya lihat mulai datang. Tetapi tidak bisa masuk. Pintu pagar tetap dikunci.
Menjelang tengah hari, dilakukan pertemuan tertutup. Diikuti beberapa orang perwakilan demonstran dengan para redaktur. Di luar gedung, massa berteriak-teriak. ‘’Tutup Jawa Pos!’’ Berulang-ulang.
Sebagai wartawan, saya tidak ikut nimbrung. Apalagi saya baru bekerja sebulan. Saya hanya ditugasi menjadi peliput pertemuan.
Dua jam kemudian: kedua pihak melakukan perdamaian. ‘’Jawa Pos’’ menerbitkan berita ‘’ralat’’ dan ‘’permohonan maaf’’. Massa pun berangsur-angsur bubar.
Tidak ada demonstran yang anarkis dalam peristiwa itu. Namun cukup membuat hati saya was-was. Saya tiba-tiba teringat pengalaman pahit. Saat masih kuliah di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, tahun 1988.
Gara-gara lukisan karikatur saya di majalah ‘’Gema Keadilan’’, terjadilah ‘’perang saudara’’. Antara mahasiswa anggota HMI dan GMNI. Tidak hanya melibatkan mahasiswa fakultas huku, tetapi meluas sampai fakultas ekonomi dan sosial politik.
Pihak kampus akhirnya memutuskan majalah dilarang beredar. Kecuali redaksi mau melakukan ‘’black out’’. Majalah itu akhirnya terbit kembali. Karikatur saya diblok hitam.
Sore harinya, Pak Dahlan Iskan yang baru tiba dari luar Jawa mengumpulkan semua awak redaksi. Mengingatkan kembali untuk berhati-hati dengan huruf ‘’B’’ dan ‘’N’’ yang posisinya bersebelahan di keyboard komputer.
Peristiwa itu terus saya ingat sampai sekarang. Menjadi ‘’early warning’’ bagi saya, setiap kali menulis kata dengan huruf awal ‘’N’’.
Cerita ini, rasanya baik juga untuk Anda. Karena kalau sampai salah ketik ‘’N’’ menjadi ‘’B’’, bisa berabe akibatnya. (joko intarto)