Tak Cukup Modal 5W + 1H “Digeruduk Massa Gara-Gara Berita (4)”

0
1806

Dua kesebelasan bertanding di lapangan hijau: Persebaya versus Arema. Masing-masing berdoa: menjadi juara. Wartawan perlu belajar bijaksana memahami harapan mereka. Agar tak digeruduk massa.

Salah satu prinsip media massa adalah bersikap netral. Tapi prinsip itu sungguh sulit diterapkan dalam liputan pertandingan olah raga.

Coba perhatikan setiap kali kesebalasan Indonesia bertanding melawan kesebelasan Malaysia. Media dalam negeri pasti sulit bersikap netral. Media nasional pasti mendukung salah satunya. Tentu saja kesebelasan nasionalnya. Demikian pula di Malaysia sana. Media setempat akan mendukung tim jagoannya.

Dalam kasus pertandingan sepakbola antara kesebelasan Indonesia vs Malaysia, sikap ‘’tidak netral’’ tidak menimbulkan masalah. Publik di masing-masing negara pasti bisa memahaminya.

Coba masuk ke wilayah yang lebih sempit. Pertandingan dua kesebelasan dalam satu negara. Apalagi dalam satu provinsi, seperti Jawa Timur.

Ambil contoh: Persebaya dan Arema. Katakanlah, pertandingan itu diselenggarakan di Surabaya. Kemudian Arema menang. Atau sebaliknya. Pertandingan berlangsung di Malang. Kemudian Persebaya keok.

Bagaimana cara wartawan ‘’Jawa Pos’’ menulis beritanya? Bila tidak hati-hati, bukan pujian yang diterima. Malah ‘’gerudukan’’ yang datang.

Rupanya Pak Dahlan Iskan punya tips yang menarik untuk menulis berita olah raga. Triknya: berita jangan sampai mempermalukan salah satu tim. Buatlah kedua tim bangga. Apa pun hasilnya.

Contohnya begini. Kalau pertandingan Persebaya v Arema berakhir dengan skor 3 – 0, jangan ditulis: Persebaya Gunduli Arema 3 – 0. Meski pun secara bahasa benar, tetapi secara sosiologi kurang tepat. Ada nuansa mencederai harapan Arema di sana. Tidak sesuai doa mereka.

Akan lebih baik kalau judulnya menjadi begini: Tampil Perkasa, Arema Gagal Juara. Ada rasa penghargaan di dalamnya. Dan tidak mengubah substansi beritanya.

Saya sedang singgah di kantor ‘’Jawa Pos’’ biro Malang, saat peristiwa itu terjadi. Tahun 1992. Hanya singgah sebentar untuk numpang mengetik berita dan mengirimkannya ke redaktur di Surabaya.

Sekitar pukul 19:00, tiba-tiba terdengar suara teriakan massa bergemuruh dari luar kantor. Tak begitu jelas. Tapi samar-samar saya mendengar nada marah. Mencaci-maki. Terkait dengan hasil pertandingan sepak bola.

Sejurus kemudian: praaaang! Kaca jendela kantor biro itu pecah. Berkeping-keping. Pecahannya berserakan di lantai. Berikut batu-batu sekepalan tangan. Rupanya kantor itu jadi sasaran kemarahan massa.

Tak jelas siapa yang melempari kantor itu. Karena gerombolan massa itu langsung kabur. Tapi bisa dipastikan, mereka adalah salah satu pendukung salah satu kesebelasan yang sedang bertanding di Malang.

Ternyata menjadi wartawan olah raga tidak cukup hanya bermodal ilmu 5W + 1 H. Masih perlu tambahan ilmu 1R: rasa. Wartawan olah raga harus punya ‘’rasa’’. Punya kemampuan memahami ‘’perasaan’’ tim yang bertanding. Boleh memberitakan kemenangan. Tetapi jangan sampai merendahkan.(joko intarto)