Calon Gubernur DKI Jakarta Nomor Urut satu, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) melanjutkan agenda kampanyenya dengan melakukan Pidato politik di Segara Garden, Hotel Dharmawangsa, Jalan Brawijaya, Jakarta Selatan, Minggu (11/12/2016).
Tampak hadir beberapa tokoh penting, diantaranya Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar, Ketua Umum PPP, Romahurmuziy, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan dan beberapa tokoh penting lainnya termasuk ayahanda AHY, Susilo Bambang Yudhoyono.
Dalam kegiatan tersebut, AHY menyampaikan pidato politik tentang Kebangsaan, Kebhinnekaan dan Patriotisme Serta Masa Depan Jakarta. Berikut ini adalah salinan lengkap pidato politik AHY dihadapan pendukungnya.
Bismilahirrahmanirrahim,
Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh,
Selamat Siang, Salam Sejahtera untuk kita semua,
Syalom,
Om Swastiastu,
Namo Budaya,
Bapak-Ibu para sesepuh dan senior serta hadirin sekalian yang saya cintai dan saya muliakan,
Sejak saya dan Ibu Silvy yang biasa kita panggil Mpok Sylvi mendeklarasikan diri sebagai Cagub dan Cawagub DKI pada tanggal 23 September 2016, tantangan yang kami hadapi tidaklah semakin ringan. Paling tidak, siang dan malam, di kala panas dan hujan, kami telah melakukan gerilya lapangan ke 36 kecamatan dari 44 kecamatan di 5 kota dan 1 kabupaten yang ada di Provinsi DKI Jakarta.
Istilah gerilya lapangan ini saya adopsi dari operasi tempurnya Panglima Besar Jenderal Soedirman. Menyatu dengan rakyat, menyiapkan kantong-kantong perjuangan, serta timbul dan tenggelam di saat-saat yang tepat bersama rakyat, itu adalah sebagian dari prinsip gerilya lapangan yang saya terapkan saat ini.
Bahkan, sahabat-sahabat saya dari awak media terkejut sewaktu beberapa hari yang lalu saya melakukan gerilya lapangan dengan long mars belasan kilometer menyusuri jalan-jalan sempit di Cengkareng, untuk menyapa rakyat, mendengar keluh kesah mereka, mencatat dan memperhatikan asa dan harapan mereka.
Menurut para jurnalis, ini adalah kerja lapangan yang cukup melelahkan dan membutuhkan stamina yang prima.
Dengan demikian, sebagaimana Panglima Besar Sudirman dulu berjuang, meskipun dengan sumber daya yang terbatas, tetapi karena didorong oleh keinginan yang luhur untuk memperjuangkan nasib seluruh rakyat, mulai lapisan terbawah sampai dengan elit, Insya Allah perjuangan kami akan diridhai oleh Allah SWT.
Tantangan yang tidak mudah itu pula harus kami alami hari ini, dimana saya harus bicara didepan 149 Jenderal, Laksamana dan Marsekal Purnawirawan TNI dan Polri. Hadir juga para Perwira Menengah Purnawirawan, yang semuanya pernah mengabdi dan bertugas di jajaran TNI & Polri, serta berbagai lembaga negara dan dunia profesi. Suatu kesempatan yang tidak pernah saya dapatkan sebelumnya.
Pantas saja Bapak Ibu sekalian
Terus terang mata saya tadi agak silau begitu masuk… bukan karena sorot kamera, tapi karena kilauan bintang para Jenderal di hadapan saya.
Luar biasa terima kasih bapak bapak sekalian yang telah mengabdi untuk TNI, bangsa, dan negara yang kita cintai.
Tentu ini adalah suatu kehormatan bagi saya dan Mpok Sylvi dapat bertatap muka dengan para sesepuh dan senior yang sangat saya banggakan.
Mengapa tantangan ini tidak mudah? Saya mendengar dan mengerti bahwa banyak para senior TNI yang menyayangkan mengapa saya harus mengakhiri ikatan dinas di TNI pada usia yang relatif muda. Bahkan seorang Jenderal bintang tiga purnawirawan yang sangat men-support saya, memberi tahu saya, betapa sulitnya beliau meyakinkan para senior TNI bahwa langkah Agus mengikuti laga Pilkada DKI ini adalah suatu langkah tepat untuk kemaslahatan rakyat.
Dengan rendah hati, saya memahami mengapa para senior menghendaki saya tetap berkiprah di TNI, karena para senior Insya Allah menyayangi saya dan berharap agar kelak saya menjadi pemimpin TNI masa depan dan membawa perubahan yang lebih baik bagi TNI dan negara yang kita cintai ini. Tentu itu semua adalah harapan yang sangat mulia.
Dengan demikian, bagi saya pribadi, hari ini adalah kesempatan emas untuk menjelaskan secara langsung kepada para senior, mengapa saya mengakhiri ikatan dinas di TNI lebih cepat dari masa usia pensiun saya, dan kemudian maju dalam laga Pilkada DKI ini.
Kami juga merasa berbahagia karena forum ini juga dihadiri oleh para pemimpin dan pemuka agama, etnis, suku dan daerah, yang membuat Indonesia bangga sebagai bangsa yang majemuk dan kaya budaya.
Dengan rasa syukur saya juga menyambut kehadiran para pimpinan lembaga eksekutif, khususnya para Gubernur, Walikota dan Bupati serta para anggota DPR RI dan DPRD,disini juga ada Ketua MPR RI, Terima kasih Bapak Zulkifli Hasan. Forum ini semakin semarak karena hadir bersama kita para lawyers, para pendidik, para dokter, para pekerja seni, para pemimpin redaksi dan tentu saja para fungsionaris partai-partai politik pengusung.
Melengkapi rasa syukur kami, saya menyambut dengan suka cita kehadiran generasi penerus bangsa yang insya Allah akan meneruskan estafet kepemimpinan di berbagai lini kehidupan di negeri ini.
Generasi Bangsa yang memiliki tanggung jawab moral untuk menghadirkan Indonesia emas di Abad 21, di atas jati diri, nilai-nilai kebangsaan dan kebhinnekaannya.
Terus terang hati saya bergetar, tapi juga teduh melihat senyum-senyum para sesepuh dan senior yang dulu pernah mendidik, membimbing dan memimpin saya, selama saya mengikuti pendidikan di SMA Taruna Nusantara Magelang 22 tahun yang lalu, kemudian berlanjut ke Akademi Militer 19 tahun yang lalu, dan selanjutnya sepanjang penugasan saya di jajaran TNI selama 16 tahun.
Dengan tulus, pada kesempatan yang baik ini izinkan saya menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas bimbingan dan asuhan para guru dan senior yang saya cintai.
Hari ini juga ada “surprise” bagi saya, karena ayah saya, Bapak SBY, juga berkenan menghadiri town hall meeting di hari ini, terima kasih Pepo. Selama ini, karena kesibukan tugas beliau dan keinginan untuk mendorong kemandirian saya, beliau hampir tidak pernah hadir dalam acara-acara kampanye saya.
Tetapi saya tahu, sebagai mentor beliau terus memberikan semangat kepada saya untuk berjuang di medan yang baru ini.
Sebagai new comer dalam dunia politik, saya mulai mengetahui bahwa ada perbedaan yang mendasar antara dunia militer dan dunia politik. Antara perang militer dan perang politik. Kalau perang militer musuhnya biasa jelas, dan biasanya lokasinya di depan kita betul bapak para jenderal sekalian? Dalam dunia politik ini musuhnya tidak jelas, bisa di belakang kita, di samping atau di dekat kita sekali. Kita kira kawan, ternyata lawan atau sebaliknya. Jadi luar biasa kompleksitas yang harus saya hadapi dan inilah membutuhkan proses pendewasaan dan adaptasi yang cepat untuk mulai merasa nyaman dalam dunia politik yang baru ini.
Jadi ada istilah dalam terminologi militer bagi Bapak Ibu yang kurang paham, dalam operasi militer kita biasa membuat perkiraan intelijen atau namanya “kirintel” singkatnya. Nah dalam membuat “kirintel” itu tentu rumit karena banyak sekali faktor-faktornya, cuaca, medan, musuh, karakteristik, dan lain sebagainya. Bagi saya kalau harus membuat “kirintel politik” justru saya merasakan lebih banyak ketidakpastiannya. Jadi asumsinya banyak sekali, asumsinya dari 1 sampai 100 mungkin, dan sangat dinamis. Tetapi tentu dari perbedaan-perbedaan itu juga banyak prinsip-prinsip dasar, prinsip-prinsip kepemimpinan di dunia militer yang sangat baik untuk diterapkan di dunia profesi manapun, termasuk di politik, pemerintahan, birokrasi, dunia usaha, dan lain sebagainya.
Saya lanjutkan bapak ibu sekalian. saya juga meyakini para senior yang telah lebih dahulu masuk dalam dunia politik tentu merasakan hal yang serupa.
Pada kesempatan yang baik ini pula, saya sampaikan bahwa hajat dan agenda utama kami dalam town hall meeting hari ini ada dua.
Pertama, saya dan Mpok Sylvia tentu mohon izin dan mohon doa restu dari para sesepuh dan senior, termasuk para pemimpin agama, untuk maju sebagai Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur Jakarta periode 2017-2022 mendatang. Semoga, perjuangan kami mendapatkan ridho Allah Swt, Tuhan Yang Maha Kuasa.
Kami berdua memiliki cita-cita dan komitmen nyata untuk bersama-sama melakukan perubahan dalam kepemimpinan dan pembangunan Jakarta tentunya ke arah yang lebih baik dari hari ini.
Agenda kedua, ke hadapan hadirin sekalian saya akan menyampaikan visi, komitmen dan sekaligus program aksi yang akan kami jalankan jika kami terpilih sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI.
Utamanya dalam upaya memperkokoh semangat NKRI, Kebangsaan, Kebhinnekaan dan Patriotisme, serta masa depan Jakarta.
Sebelum membahas tema besar tersebut, izinkan saya untuk menyampaikan secara singkat 10 program unggulan Agus-Sylvi untuk Jakarta 5 tahun mendatang.
Kesepuluh program unggulan itu adalah :
Program 1 adalah bantuan langsung kepada kaum miskin dan kurang mampu. Terima kasih. Bentuk ini akan menjadi prioritas kita, mengapa? Karena jangan sampai ditengah-tengah gemerlap ibukota, pembangunan infrastruktur menjulang ke langit tapi disekitar kita masih banyak saudara-saudara kita yang makan pun sulit sekali setiap harinya.
Program 2 adalah pengurangan pengangguran dan penciptaan lapangan kerja. Kita tahu masih cukup banyak angka pengangguran terbuka saat ini di Jakarta, kita tidak ingin terlalu lamanya generasi muda terutama menganggur, maka justru mereka akan terjerat dalam kasus-kasus kriminalitas yang tentu tidak kita inginkan bersama.
Program 3 adalah peningkatan pendidikan dan kesejahteraan guru. Kita ingin kualitas dan kapasitas pelayanan pendidikan di Jakarta juga semakin baik. Dimana kesejahteraan para guru juga ditingkatkan dari hari ke hari.
Program 4 adalah peningkatan pelayanan kesehatan.
Program 5 adalah peningkatan pertumbuhan ekonomi, investasi dan stabilisasi harga. Khusus terkait dengan program kelima ini, dua minggu yang lalu sudah saya jelaskan dalam Town Hall Meeting diselenggarakan di Balai Kartini, dimana mengundang dunia usaha untuk menyentuh harapan besar dari para entrepreneurs dan juga pengusaha DKI Jakarta, baik pengusaha papan atas maupun pengusaha dunia mikro kecil dan menengah. Saya mengatakan kepada mereka semua bahwa pemerintah harus berpihak kepada pelaku dunia usaha dalam konteks kita ingin meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat Jakarta. Jika ekonomi kita meningkat tentu masyarakat yang hidupnya sangat sulit bisa kita bantu untuk lebih baik lagi.
Program 6 adalah peningkatan pembangunan infrastruktur dan perumahan. Kita juga tahu banyak sekali permasalahan kekurangan rumah ataupun lahan hunian bagi masyarakat kita. Kita ingin Jakarta menghadirkan rumah-rumah yang layak, sehat, yang berkualitas untuk keluarga di Jakarta.
Program 7 adalah menjadikan Jakarta sebagai kota pintar, kreatif dan ramah lingkungan atau “smart, creative and green city.”
Program 8 adalah peningkatan keamanan kota dan kerukunan warga. Tentu kita ingin tidak hanya terjadi peningkatan ekonomi, tetapi keamanan dan stabilitas di Jakarta menjadi pra syarat mutlak bagi terjadinya economic growth dan kita berharap Jakarta semakin hari semakin aman dan semakin kecil angka kriminalitas di ibukota ini.
Program 9 adalah penegakan hukum dan keadilan bagi semua “justice for all”. Kita ingin hukum tegak di negeri ini, hukum tegak di Jakarta ini, jangan sampai kaum lemah tidak mendapat bantuan hukum, akhirnya merasa hidupnya tidak pernah diperlakukan secara adil, ini akan menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu akan meledak dan menimbulkan banyak sekali permasalahan lainnya.
Program 10 adalah peningkatan kualitas pemerintahan dan birokrasi. Tentu saya dan Mpok Sylvi memiliki komitmen untuk menyelenggarakan tata kelola pemerintahan yang transparan, akuntabel, dan berintegritas. Dengan birokrasi dan pemerintahan yang efektif, diharapkan pertumbuhan ekonomi di Jakarta akan berjalan dengan baik dan kehidupan bermasyarakat di kota Jakarta akan berlangsung dengan baik pula.
Kesepeluh program unggulan tersebut; realistis, achievable dan dapat menjawab permasalahan serta tantangan yang sangat kompleks di Jakarta.
Bapak-ibu para sesepuh dan senior yang saya cintai dan saya banggakan,
Tahun 1999, lima belas tahun lalu, ketika mengikuti pendidikan di Akademi Militer, saya mendapat kabar bahwa ayah saya, mentor saya, dan sekaligus teladan saya, harus mengakhiri ikatan dinasnya di TNI lebih cepat lima tahun dari usia pensiun seharusnya.
Ketika mendapatkan kabar itu, saya termenung, terus terang secara alamiah dan manusiawi, menitikan air mata, dan bertanya-tanya; mengapa pak SBY, ayah saya harus berhenti di TNI ketika beliau tinggal selangkah lagi menuju pucuk pimpinan Angkatan Darat dan mungkin juga TNI.
Pada usia yang sangat muda itu, sulit bagi saya untuk memahami hal itu dan bahkan ketika jawabannya pun sudah tersedia. Yang saya tahu, ayah saya mendapatkan panggilan tugas suci dari rakyat melalui Presiden Republik Indonesia, ketika untuk berkiprah lebih luas kepada masyarakat, bangsa dan negara.
Selanjutnya, saya mencoba mencerna, pesan yang sama, yang selalu didengungkan oleh dua kakek saya, yang juga seorang pejuang-pejuang di masanya, Bapak Sukotjo dan Bapak Sarwo Edhie Wibowo, bahwa pengabdian seorang prajurit TNI, pada hakikatnya adalah pengabdian kepada bangsa dan negara.
Belakangan, ketika bulan September lalu, gabungan empat ketua Umum Partai Politik yang mewakili aspirasi rakyat, meminta saya untuk maju sebagai calon gubernur DKI.
Dengan konsekuensi, tentunya saya harus mengakhiri ikatan dinas di TNI , jauh lebih cepat dibandingkan ayah saya dulu.
Barulah saya pelan-pelan memahami benang merah jawaban yang selama ini saya sebenarnya telah temukan. Bahwa sekali lagi, pengabdian TNI adalah kepada bangsa dan negara. Bagi saya, ini adalah panggilan tugas suci. Call of duty, mengabdi untuk masyarakat yang lebih luas.
Memang saya akui, ada rasa khawatir ketika keluar dari zona nyaman di TNI saat itu. Selama ini saya dididik dan dilatih sebagai tentara profesional, yang pekerjaannya adalah berlatih dan bertempur.
Kini, saya harus mengubah pola pikir saya, mempersiapkan diri menjadi pamong praja dan pelayan masyarakat. Ada pertanyaan kepada diri saya sendiri: apakah saya mampu?
Rasa khawatir ini sangat manusiawi, rasa yang biasa dialami oleh kita semua para prajurit TNI, ketika kita akan melakukan penerjunan, ketika akan bertempur, dan ketika harus menyabung nyawa.
Alhamdulillah, saya berhasil mengalahkan kekhawatiran itu. Kuncinya adalah di tahap persiapan. Karena sesuai teori dan praktek di lapangan yang selama ini saya yakini, persiapan adalah 50 persen kunci kemenangan.
Saya bersyukur, meskipun saya tidak dipersiapkan oleh keluarga, oleh institusi, oleh negara, dan bahkan oleh diri saya sendiri untuk menjadi gubernur DKI, tetapi saya telah ditempa dan juga menempa diri untuk menjadi pemimpin sejak remaja.
Jauh sebelum itu, sebagian hadirin mengetahui, saya dilahirkan di kompleks tangsi militer di Dayeuhkolot Bandung, 38 tahun yang lalu. Saya yakini darah keprajuritan dan patriotisme mengalir di diri saya, karena kedua kakek saya adalah prajurit TNI, demikian juga ayah saya.
Namun, saya baru benar-benar mengerti arti patriotisme, ketika berusia 8 tahun, dimana hampir 3 tahun saya tinggal dan bersekolah di Dili, Timor Timur; mengikuti orang tua yang menjabat Komandan Batalyon 744 waktu itu.
Di situlah saya mengetahui ada ribuan prajurit TNI & Polri yang bertaruh nyawa mengemban tugas pertempuran demi Sang Merah Putih.
Saya masih ingat Ibunda saya, Ibu Ani, bersama para anggota Persit Kartika Chandra Kirana, sering menghadiri upacara pemakaman para prajurit yang gugur di medan tugas di Taman Makam Pahlawan Seroja Taibesi, Dili.
Bagi orang awam, mungkin ini terlihat seperti upacara biasa. Tapi bagi keluarga prajurit, ada duka yang mendalam setiap kali peti jenazah diturunkan ke liang lahat, diiringi tembaka salvo penghormatan. Dengan tegar, Ibu Ani selalu membesarkan hati keluarga yang ditinggal oleh suaminya, menyumbangkan jiwa dan raganya demi bangsa dan negara tercinta.
Dalam hati saya, saya pikir saya yakin, bahwa Ibu Ani pasti menyimpan kecemasan yang sama karena Bapak SBY menghadapi resiko yang sama sebagai komandan di garis depan. Tapi sebagai istri komandan ketika itu, tentu beliau harus kelihatan tegar, apapun situasinya.
Jiwa patriotisme saya lebih tertanam lagi ketika pada awal tahun 2000-an, sebagai Komandan Peleton Yonif Linud 305 Kostrad, saya mendapat tugas untuk melaksanakan operasi militer di Aceh.
Tugas yang saya emban selama satu tahun ini membuat saya membuat saya makin memahami bahwa setiap prajurit harus mengambil risiko yang paling tinggi, gugur di medan tugas, demi menjaga tegaknya kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI.
Dalam penugasan itu, sebagai komandan tim khusus, saya juga merasakan pentingnya kebhinnekaan. Sedikit bercerita pada suatu waktu, ketika saya akan memimpin serangan, di suatu wilayah yang dikuasai gerakan separatis bersenjata, kemudian harus melaksanakan serbuan mendadak, dan juga situasinya kurang menguntungkan karena hujan lebat. Tentunya ini menghadapi hambatan di lapangan. Sesuai prosedur, kami harus mengungsikan warga dan melindungi warga sipil.
Itu foto saya, waktu masih muda. Yang ada ditengah-tengah itu Letnan Dua Agus Harimurti Yudhoyono
Hampir semua warga sipil tidak menguasai dan mengerti bahasa Indonesia ketika itu. Kami beruntung, wakil komandan tim saya, Sersan Muslim Lara, dia seorang putra asli asal Aceh, karena orang Aceh Asli tentu paham tentang menggunakan bahasa Aceh dan mengerti budaya setempat.
Alhamdulillah, karena keragaman dalam tim kami itu, tugas pertempuran sekaligus tugas melindungi warga pun dapat kami laksanakan dengan baik.
Saya mengerti, mengapa demi NKRI setiap jengkal tanah harus kami jaga dan pertahankan. Itulah sebabnya NKRI benar-benar berada dalam jiwa-raga kami, bukan hanya dalam slogan dan spanduk-spanduk yang belakangan ini saya lihat banyak dipasang di kota Jakarta.
Slogan spanduk penting untuk mengingatkan kita semua, tapi seharusnya lebih dari itu. Jiwa patriotisme, NKRI harga mati, persatuan, kebhinekaan, harus terpateri benar-benar dalam hati sang Merah Putih.
Saya sadar sepenuhnya bahwa setiap keputusan seorang komandan militer mengandung resiko, resikonya tidak sederhana, resiko nyawa bagi pasukannya dan dirinya sendiri. Sama halnya seperti yang saya alami.
Di lapangan, keputusan beresiko itu harus saya ambil dengan cepat, dalam situasi yang menekan. Sebagai komandan, setiap nyawa tentu sangat berharga.
Oleh karena itu saya seringkali menyayangkan jika ada pernyataan bahwa demi jumlah manusia yang lebih banyak, ribuan orang kita korbankan tidak ada masalah.
Karena di TNI, diajarkan demi satu warga negara Indonesia, satupun, satu army kita keluarkan.
Kita harus membela setiap warga negara, warga Jakarta, tidak boleh mereka merasa tersakiti, merasa kalah ditempatnya sendiri.
Mentalitas dan pendekatan kepimpinan itulah yang harus hadir di tengah masyarakat kita.
Jangan sampai mereka ketakutan setiap saat karena tidak menentu nasibnya, jangan-jangan saya hari ini digusur, dibuang dari kota Jakarta, kehilangan pekerjaannya.
Pembangunan di Jakarta tentu harus dilakukan karena kita ingin mencapai kemajuan, kita ingin Jakarta kita modern, jangan sampai jiwa dan roh dari kota Jakarta, manusianya justru merasa sakit dan tersingkirkan. Inilah paradigma yang saya ingin angkat dalam memimpin Jakarta jika Insya Allah diberikan mandat oleh rakyat.
Sebagaimana para senior ketahui, semakin tinggi posisi perwira militer dituntut kemampuan untuk memimpin, mengelola, mengambil keputusan secara tegas, serta harus berani mengambil resiko dalam berbagai situasi.
Itu semua merupakan modal berharga dalam memimpin organisasi apapun. Oleh karena itulah, saya heran ketika ada pihak yang meragukan kompetensi kepemimpinan seorang perwira TNI dengan mempertanyakan berapa jumlah anak buah dan besarnya anggaran yang pernah dikelola-nya.
Bagi bangsa dan negara ini, nyawa seseorang tidak bisa dikonversi dengan besarnya anggaran.
Kita tentu mempelajari sejarah perjuangan di negeri ini, termasuk bangkitnya rasa dan semangat kebangsaan yang meluap-luap di era perjuangan melawan penjajah dulu.
Perjuangan dan heroisme Bung Karno dan Bung Hatta beserta para founding fathers yang lain, akan terus menjadi inspirasi bagi generasi bangsa manapun, bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dan harus berjaya di masa depan.
Nasionalisme kita tentulah nasionalisme yang positif dan bukanlah yang sempit. Indonesia juga harus mengibarkan benderanya di panggung dunia seraya menceritakan berbagai kisah sukses dalam membangun bangsa kita.
Saya tentu bersyukur, karena mendapatkan kesempatan sejarah untuk ikut mengemban tugas perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa di Libanon. Selama satu tahun kami mengusung panji-panji Merah Putih, tampil sebagai peace-keepers yang profesional di sepanjang perbatasan Israel-Libanon guna mencegah terjadinya kembali perang di antara mereka.
Di situlah saya dan teman-teman, dengan jiwa nasionalisme yang tinggi, makin memahami makna dari pembukaan UUD 1945 bahwa Indonesia harus ikut serta memelihara ketertiban dunia.
Selama saya mengemban misi perdamaian PBB di Libanon itu pula, saya mempelajari bagaimana militer Indonesia dituntut untuk mampu menjaga netralitas dan imparsialitas sehingga bisa meminimalkan potensi konflik Libanon dan Israel.
Di sana pula, saya membuktikan pengalaman teritorial TNI sangat membantu memenangkan hati dan pikiran masyarakat setempat, dalam bentuk bantuan- bantuan kesehatan hingga pendidikan, termasuk menghibur anak-anak yang mengalami trauma akibat perang.
Saat itu, sebagai perwira operasi, saya bicara kepada para senior, rekan dan yunior: “Di setiap evaluasi bulanan, kita masih kalah oleh pasukan lain yang memiliki program unggulan masing-masing.
Melaksanakan tugas secara profesional saja tidak cukup. Kita juga harus punya program unggulan apabila kita ingin dipandang dunia.”
Alhamdulillah, kami berhasil mengimplementasikan program mobil pintar yang digagas dan dibantu oleh ibu negara saat itu, Ibu Ani Yudhoyono, untuk merebut dan memenangkan hati dan pikiran rakyat Libanon.
Intinya begini bapak ibu sekalian, kalau saya benar benar bisa mencoba mencintai masyarakat di Libanon selatan mungkin tidak ada urusannya dengan kita langsung menyentuh hati dan pikiran mereka, meyakinkan bahwa kita bisa damai, bersatu, hidup dalam sebuah kemajemukan, tapi kita bisa cari persamaannya, apalagi kalau saya diberikan kepercayaan memimpin DKI Jakarta
Karena kemajukan adalah milik kita semua, keberagaman adalah sesuatu yang indah tetapi tentu harus kita perjuangkan.
Saya kembali kepada cerita saya di Libanon.
Hasilnya, sebagai apresiasi PBB dan masyarakat setempat, sejak saya bertugas dengan kontingen pertama di Libanon itu, kini TNI terus diberi kepercayaan untuk semakin memperluas kiprahnya menjaga perdamaian dunia.
Bayangkan, dari jumlah sekitar 850-orang di tahun 2006, kini jumlah peacekeepers kita mencapai hampir 3000 orang yang bertugas di berbagai belahan dunia.
Berkaitan dengan semangat kebhinnekaan, saya juga bersyukur karena sejak remaja, saya dan teman-teman dididik untuk menghormati perbedaan dan kemajemukan di antara sesama warga.
Sebagaimana yang telah saya sampaikan sebelumnya, alhamdulillah saya berkesempatan untuk mengikuti pendidikan di SMA Taruna Nusantara dan Akademi Militer di Magelang yang selama 7 tahun memperkenalkan dan menanamkan semangat dan jiwa kebhinnekaan pada diri saya.
Selama di SMA Taruna Nusantara, misalnya, kami dilarang menggunakan bahasa daerah, termasuk bahasa Jawa meskipun sekolah kami ada di Magelang, Jawa Tengah. Saya ataupun kita semua kalau ketawan menggunakan bahasa daerah tertentu pasti kita akan dipushup, ini ada guru saya disini, Pak Cecep. Betul pak ya? Karena dianggap primordial, karena para pamong dan guru tidak ingin kami siswa yang datang dari berbagai penjuru Indonesia, tersekat-sekat oleh primordialisme yang diwujudkan dalam penggunaan bahasa daerah masing-masing.
Di Akademi Militer, kami dididik dan ditempa untuk bisa hidup rukun dan saling hormat menghormati dengan sesama taruna yang datang dari segala penjuru tanah air, dengan identitas yang beragam.
Kami dididik untuk berkompetisi berdasarkan kompetensi, bukan berdasarkan suku, ras, agama atau latar belakang sosial-ekonomi.
Di lembaga ini pula, saya belajar tentang pendidikan dasar semua agama yang ada di Indonesia, agar kami bisa saling mengerti perbedaan masing-masing dan saling menghargai satu sama lain.
Ini semua adalah modal berharga bagi kami dalam menjalankan berbagai tugas di seluruh tanah air, dalam lingkungan kehidupan masyarakat yang sangat majemuk.
Dalam perkembangan karier saya selanjutnya selama 16 tahun mengabdi di jajaran TNI, makin tertanam dalam jiwa dan pikiran saya betapa pentingnya kita hidup rukun dalam keragaman atau harmony in diversity dan bersatu dalam kemajemukan atau unity in diversity. Itulah makna dari sesanti Bhinneka Tunggal Ika yang kita junjung tinggi.
Ketika Allah menakdirkan saya yang berdarah Jawa menikah dengan isteri tercinta Annisa Pohan yang berdarah Batak, kalau saya agak kalem kalau dia agak terbuka. Ada perbedaan, tidak selalu cocok, tapi kita bertemu dalam persamaan-persamaan yang ada, saya kembali ke Annisa tadi. Maka jiwa dan nilai kebhinnekaan yang saya miliki itu menghilangkan hambatan bagi kami untuk menjalin kasih sayang dan kebersamaan sebagai keluarga.
Saya yakin, Mpok Sylvi yang puteri asli Betawi, yang bersuamikan putra Bali Bapak Gde Sardjana, pasti mereka berdua mengalami hal yang sama. Satu Betawi, satu Bali, ada perbedaan-perbedaan. Alhamdulillah sudah berapa tahun Bapak? 32 tahun alhamdulilah, masih semangat.
Jadi kami, saya dan mpok Sylvi sudah sangat biasa dengan keberagamaan dan kebhinekaan Indonesia, diwujudkan dalam keluarga kecil kami masing-masing.
Kembali kepada lintasan pengabdian saya di masa lampau, secara pribadi saya sungguh bangga karena pernah bertugas dan mengabdi di jajaran TNI, lembaga terhormat yang menjadi garda terdepan sekaligus benteng terakhir dalam menegakkan NKRI.
Di TNI pula, saya benar-benar belajar memaknai arti patriotisme yang sesungguhnya, dimana pengabdian kepada masyarakat, bangsa dan negara tidak pernah mengenal batas waktu dan medan penugasan.
Saya berjanji akan membawa semangat dan nilai-nilai mulia seperti itu dalam medan pengabdian saya yang baru, jika Tuhan Yang Maha Kuasa menakdirkan, dan jika rakyat memberikan mandatnya kepada saya untuk memimpin Jakarta di masa depan.
Itulah pengalaman dan pelajaran hidup yang saya petik dan dapatkan ketika kita bicara tentang NKRI, kebangsaan, kebhinnekaan dan juga patriotisme.
Itulah menurut pandangan saya, makna dan hakiki yang sesungguhnya. Saya yakin para sesepuh dan senior yang selama ini selama puluhan tahun mengabdi di jajaran TNI dan Polri, maupun jajaran lembaga negara dan cabang profesi yang lain akan sungguh merasakan makna yang dalam dari semua itu.
Semua itu terletak dalam hati dan pikiran kita. Deep in our hearts and our minds. Bukan NKRI, kebangsaan, kebhinnekaan dan patriotisme yang “dipolitisasi”, sehingga menjadi bias, kabur dan misleading.
Pertanyaannya sekarang adalah ~ apakah masih relevan setelah 71 tahun berbicara tentang NKRI, kebangsaan, kebhinnekaan dan patriotisme? Bukankah isu-isu itu tidak lagi menjadi persoalan dalam kehidupan bermasyarakat, bukankah isu isu tersebut sudah masuk museum? Karena kita sudah hidup dalam zaman dan era modern.
Menurut saya membicarakan hal-hal penting itu tetap relevan.
Memang ada yang menganggap nasionalisme itu sudah usang.
Alasan mereka dunia sudah menyatu. Kini bangsa-bangsa sudah hidup dalam perkampungan global, global village yang batas-batasnya sudah kabur, dunia seperti borderless. Sehingga nasionalisme tak diperlukan lagi kata mereka.
Berdasarkan ilmu dan pengalaman yang saya tekuni, baik di dalam maupun di luar negeri, dengan tegas saya katakan bahwa SAYA TIDAK SETUJU.
Alasan saya sederhana. Meskipun kini bangsa-bangsa hidup dalam perkampungan global, kita harus tetap punya rumah sendiri.
Tidak mungkin tinggal satu rumah dengan bangsa lain. Nah, rumah kita itulah yang disebut sebagai kebangsaan kita, nasionalisme kita Indonesia.
Mohon maaf saya agak berkeringat saking bersemangatnya. Apalagi disaksikan para bintang semua ini. Jadi harus terus semangat. Mudah-mudahan saya tidak pernah ingin mengecewakan para senior dan alumni saya.
Di sisi lain, sebagai Negara Nasional, Nation State, kita wajib memperjuangkan kepentingan nasional kita. Apalagi dunia masa kini menghadirkan pula kompetisi dan persaingan yang begitu keras dan kompleks.
Meskipun kini banyak kemitraan dan ikatan solidaritas global, bagaimanapun kepentingan nasional harus kita letakkan di atas segalanya.
Merawat dan memelihara semangat keberagaman juga tetap penting untuk kita lakukan. Bangsa kita ditakdirkan menjadi bangsa yang sangat majemuk.
Di satu sisi kemajemukan memang adalah rahmat dan kekayaan, namun di sisi lain juga mengandung kerawanan dan sumber-sumber konflik. Karenanya harus terus kita rawat dan jaga dengan sungguh-sungguh. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.
Di masa silam, kita pernah mengalami konflik komunal karena terjadinya benturan antar umat beragama, antar etnis, antar suku dan antar daerah.
Ke depan harus dapat kita cegah benturan atau clash semacam itu. Ke depan jangan kita ceroboh dan lengah, apalagi dengan sengaja membenturkan komponen masyarakat yang berbeda dalam agama, etnis, suku dan kedaerahan tersebut.
Dengan kata lain, jangan mudah memanipulasi sesuatu isu dan kemudian dibawa ke persoalan kebhinnekaan apalagi NKRI, padahal sesungguhnya tidak ada hubungannya sama sekali.
Kalau ini terjadi, berarti kita sendiri yang menciptakan masalah dengan label kebhinnekaan dan NKRI itu. Hal begini bukan hanya kontraproduktif, tapi juga tidak mencerdaskan kehidupan bangsa.
Patriotisme juga penting untuk kita kobarkan dan aplikasikan di masa kini dan masa depan.
Di era penjajahan dulu, patriotisme kita wujudkan dengan semangat rela berkorban untuk kemerdekaan Indonesia tercinta.
Kita berkorban jiwa dan raga untuk mengusir kolonialisme penjajah dari bumi pertiwi, termasuk perjuangan dan pengorbanan para prajurit TNI dan rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan kita.
Kini, meskipun Indonesia tidak menghadapi ancaman nyata terhadap kedaulatan dan keutuhan NKRI, tetapi cinta tanah air dan bela negara tetap saja harus kita tumbuh kembangkan.
Tentu saja kita mesti mengaktualisasikan rasa cinta tanah air dan bela negara tersebut dalam bentuknya yang baru ~ misalnya kita harus berjuang dan bekerja keras untuk membuat negara kita makin maju, makin adil, makin aman, makin bermartabat dan makin sejahtera.
Satu contoh kecil yang menyentuh saya adalah seorang petugas keamanan lingkungan di Kemayoran yang sudah bertugas selama 35 tahun dengan dedikasi penuh.
Kehidupannya sangat sederhana. Harapannya pun tidak pernah muluk-muluk. Ia hanya ingin lingkungan RT-RW-nya aman dan tenteram. For me, he is a real patriot. Ia adalah patriot sejati yang harus diapresiasi.
Menghadapi persaingan kepentingan dengan negara lain, apakah di bidang politik, ekonomi maupun keamanan misalnya, patriotisme yang kita wujudkan adalah aksi-aksi nyata sehingga membuat Indonesia menang dalam persaingan global.
Bapak Ibu para sesepuh dan senior,
Sebagaimana kita ketahui bersama, Jakarta adalah mini Indonesia, etalase dan jembatan ke dunia internasional, serta role model dan barometer kehidupan bangsa Indonesia.
Karenanya, kita sepakat dan bertekad membangun Indonesia yang memiliki wawasan kebangsaan dan rasa kebhinnekaan yang tinggi. Ini harus dapat diwujudkan dan dicontohkan di kota megapolitan Jakarta ini.
Teguhnya rasa kebangsaan dan kebhinnekaan tak akan datang dengan sendirinya. It should never, ever ever, be taken for granted.
Tetapi harus terus menerus kita rajut, kita semaikan dan kita perkokoh. Para pemimpin dan tokoh masyarakat di Jakarta harus bisa menjadi contoh dan sekaligus memberi contoh atas kuatnya rasa kebangsaan dan kebhinnekaan tersebut.
Mengingat isu SARA adalah isu yang sensitif, maka semua pihak harus sungguh menjaga harmoni dan toleransi yang setinggi-tingginya.
Semua pihak mesti pandai bertenggang rasa, seraya mengembangkan sikap saling menghormati dan sikap saling menghargai.
Mari kita cegah tutur kata dan perbuatan yang bisa melukai hati saudara-saudara kita yang berbeda identitas, apalagi yang berkaitan dengan keyakinan dan ajaran.
Hari Jumat dua hari lalu, saya mengunjungi kecamatan Tambora, Jakarta Barat. Ini salah satu kecamatan terpadat di Asia Tenggara.
Saya disambut hangat oleh ribuan warga dimana sekitar 60%-nya adalah warga keturunan Tionghoa. Saya terkesima melihat kerukunan hidup warga di sana. Ada ketua RW yang keturunan Tionghoa, sementara ketua RT-nya dijabat oleh pak Haji.
Kehidupan bertetangga berjalan harmonis selama belasan tahun. Tak ada ketakutan, karena semua menjaga dan saling menghormati tanpa harus menjadi homogen.
Jadi kerukunan hidup antara warga dengan suku, ras dan agama yang berbeda, sudah lama kita lakukan. Bukan hal baru.
Kebhinnekaan bagi warga Jakarta bukanlah sekedar festival, tapi kenyataan hidup yang sudah lama berlangsung sejak kota ini berdiri ratusan tahun lalu. Kebhinekaan adalah D-N-A kota Jakarta.
Para pemimpin dan tokoh masyarakat haruslah menyuburkan kasih sayang dan rasa persaudaraan di antara komponen masyarakat yang berbeda identitas, dan jangan sebaliknya mudah menyebarkan serta membesarkan rasa kebencian di antara mereka semua.
Yang harus kita suburkan adalah “love” atau kasih sayang, dan bukan “hatred” atau kebencian. Pemimpin Indonesia, termasuk pemimpin Jakarta, tak boleh berjiwa sektarian dan partisan, khususnya jika menyangkut keberagaman kita sebagai bangsa.
Jika ada gejala atau insiden-insiden kecil yang bisa mengganggu kerukunan antar komponen yang berbeda identitas, pemimpin harus segera ambil langkah-langkah yang tepat dan bijak, agar hal itu tidak berkembang ke arah yang lebih buruk lagi.
Negara harus hadir dengan cepat, jangan membiarkan, kita anggap biasa, dan kemudian ternyata terlambat, sudah tersakiti, sudah terluka, sudah tergores hati para pemeluk agama di negara kita, dan juga tergesek antara komunitas yang berbeda identitas tersebut.
Kita tidak boleh lupa, bahwa konflik komunal di Sampit pasca krisis 1998, serta konflik komunal yang lebih dahsyat yang terjadi di Poso, Ambon dan Maluku Utara awalnya juga dipicu oleh peristiwa-peristiwa yang tidak langsung berkaitan dengan SARA, tetapi dengan cepat meluas dan membesar.
Disamping diperlukan dialog terus-menerus, perlu kita hidupkan forum kerukunan antar identitas, agama, etnis, suku dan asal daerah, sebagai wadah yang sah dan memiliki legitimasi yang tinggi untuk senantiasa menjaga kerukunan dan kebersamaan warga Jakarta.
Kalau wadah dan forum kerukunan itu telah ada, menurut saya harus lebih ditingkatkan intensitas dan efektifitasnya.
Namun, untuk menjaga kerukunan dan kebhinnekaan menurut saya tidak harus selalu kita kaitkan dengan upaya pencegahan konflik di antara mereka.
Banyak cara yang bisa kita lakukan. Menggelar acara budaya, pameran, kuliner, wisata sejarah dan kegiatan sejenis yang dapat lebih menyatukan serta meningkatkan apresiasi satu sama lain, juga sebuah cara yang baik.
Saya yakin, di Jakarta ini banyak kegiatan yang edukatif dan konstruktif yang dapat kita lakukan.
Contoh kecil, saya alami sendiri di Cengkareng, Jakarta Barat, hari Senin lalu.
Saya memenuhi undangan warga. Saya terpana ketika melihat lautan manusia yang menyambut. Saya diajak masuk ke kawasan hunian padat. Di setiap RW, saya disambut dengan cara yang berbeda-beda.
Ada yang mengalungi saya sarung, syal, ada pula yang menyambut saya dengan rebana, pencak silat dan ondel-ondel. Suasananya meriah. Persis seperti festival budaya aneka warna yang mencerminkan keragaman warga Jakarta.
Tidak terasa, kami berjalan selama lima jam non stop, menempuh jarak 11 kilometer mengelilingi lima RW, dan 60 RT, menyapa lebih dari 10 ribu warga setempat.
Untungnya saya dulu digembleng di TNI, jadi kalau 5 jam jalan saja, masih oke. Karena kita biasa naik turun gunung, ada istilahnya begini
Setinggi-tinginya gunung, lebih tinggi kakinya prajurit.
Saya lanjutnkan, ini gerilya lapangan paling panjang dan paling lama yang saya pernah jalani selama berkampanye.
Antusiasme warga dan semangat untuk perubahan menuju Jakarta yang lebih baik dan manusiawi, menghilangkan segala rasa lelah, serta semakin memantapkan hati dan langkah saya dalam perjuangan di pemilihan Gubernur DKI Jakarta ini.
Saya dan Mpok Sylvi berkomitmen untuk aktif mengelola kehidupan yang harmonis dari warga Jakarta yang berbeda identitas.
Secara berkala akan saya lakukan pertemuan dengan forum kerukunan antar identitas agar kita bisa terus menjaga kerukunan di antara mereka, seraya mencegah gesekan dan benturan yang tidak perlu terjadi.
Melalui pendidikan harus semakin kita intensifkan pengajaran, baik teori maupun praktek, kepada anak didik agar terbentuk sikap, nilai dan perilaku yang kuat untuk menjaga persatuan dalam keberagaman kita.
Melalui APBD Jakarta saya berencana untuk menyiapkan anggaran yang cukup agar upaya menjaga kerukunan antar identitas tersebut dapat dilaksanakan secara efektif.
Saya ingin menggaris bawahi sekali lagi, sebagaimana yang telah saya sampaikan di berbagai kesempatan, bahwa Jakarta adalah rumah bagi semua.
Jakarta adalah sistem ruang kehidupan bagi semua warganya. Itulah alasan saya dan Mpok Sylvi mengkampanyekan slogan Jakarta untuk Rakyat. Jakarta For All.
Tidak boleh, sekali lagi tidak boleh, ada warga, yang apapun agama, etnis, suku dan asal daerahnya, yang merasa takut dan hidup tidak tenteram di kota ini, karena merasa terancam oleh saudara-saudaranya yang kebetulan berbeda identitas.
Ada cerita yang menarik. Pada hari Sabtu 3 Desember 2016 yang lalu saya berkunjung ke kawasan Pantai Indah Kapuk dan Muara Karang, Jakarta Utara.
Di sana saya bertemu dengan komunitas Tionghoa yang menyambut saya dengan antusias termasuk disambut dengan Barongsai yang atraktif. Setelah berbincang-bincang dengan baik, sebagian dari mereka berkata begini :
“Pak Agus, tolong kalau Bapak jadi Gubernur, kami-kami ini jangan didiskriminasi, jangan disingkirkan ya Pak …”
Saya tertegun mendengar pernyataan itu. Saya tidak menyangka. Tentu segera saya jawab :
“Ibu, mengapa punya pikiran begitu? Saya tidak mungkin bertindak seperti itu.
Jangankan bertindak, berpikirpun tidak mungkin.
Saya akan adil dan mengayomi semua.
Termasuk saudara-saudara saya etnis Tionghoa”
Namun, ternyata pernyataan itu masih diulangi.
“Benar ya Pak Agus. Kami jangan disingkirkan ya Pak. Jamin ya Pak.. Tidak ada diskriminasi bagi kaum minoritas”
Tentu saya menegaskan sekali lagi, saya janji, saya akan menjamin bahwa saya akan berdiri diatas semua golongan, berlaku adil dan tidak akan pernah berlaku diskriminatif.
Selepas kunjungan itu saya sampaikan kepada teman-teman yang tergabung dalam Tim Pemenangan Agus-Sylvi, betapa fitnah atau black campaign itu telah menjamah ke mana-mana.
Dari satu isu, ke isu yang lain. Termasuk yang tadi katanya akan melakukan diskriminasi bahkan menyingkirkan saudara-saudara kita etnis Tionghoa.
Kepada saudara-saudara saya penduduk Jakarta apapun agama, etnis, suku dan asal daerah yang mendengarkan pidato saya ini, dengan tegas saya sampaikan bahwa :
saya akan berbuat adil, serta melindungi dan memberikan rasa aman kepada saudara semua.
Itu tekad dan komitmen saya bersama Mpok Sylvi. Tidak ada DNA keluarga kami yang anti kemajemukan, atau bersikap rasialis dan diskriminatif.
Mudah mudahan hujan deras mengamini kita semua yang ada disini.
Lanjut?
Saya masih ingat sejak bulan Oktober 2016 yang lalu, disebarkan rumor jika saya terpilih menjadi Gubernur maka Kartu Jakarta Sehat atau KJS dan Kartu Jakarta Pintar atau KJP akan dihapus.
Saya tekankan lagi bahwa isu atau rumor ini tidak benar. Kami bahkan menyiapkan program dan anggaran Insya Allah jika terpilih menjadi gubernur untuk meningkatkan program-program termasuk KJP dan KJS tadi agar bisa lebih efektif. Karena di lapangan kami melihat masih cukup banyak kantong-kantong masyarakat yang belum terjangkau program layanan kesehatan dan pendidikan Pemda Jakarta ini.
Diisukan gaji dan tunjangan pegawai jajaran Pemda Jakarta akan saya turunkan. Jelas tidak mungkin, karena justru jika pendapatan Pemda Jakarta meningkat, kesejahteraan mereka secara bertahap akan terus ditingkatkan.
Hal lain lagi, diisukan pasukan Oranye (petugas kebersihan kota Jakarta) akan saya bubarkan. Ini juga bohong. Pasukan Oranye akan kita pertahankan bahkan akan kita tingkatkan kesejahteraannya.
Dan banyak lagi rumor dan berita bohong yang sangat merugikan perjuangan saya bersama Mpok Sylvi.
Pada kesempatan ini saya memohon, jika Bapak-Ibu mendengar berita-berita bohong itu, berkenan kiranya untuk menyampaikan bahwa semua itu tidak benar dan mencoba mengklarifikasikan kepada masyarakat, sehingga masyarakat kita dapat mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar.
Prinsip dan etika politik yang saya anut dan jalankan dalam pemerintahan dan pembangunan adalah kesinambungan dan perubahan.
Kebijakan dan program-program yang dijalankan oleh para Gubernur terdahulu yang masih baik dan relevan akan tetap kami jalankan.
Jangan seperti seolah-olah Jakarta ini baru ada lima tahun yang lalu, ini udah ratusan tahun berdirinya dan ada pemimpin-pemimpin, pemerintah-pemerintah sebelumnya yang harus diapresiasi
sudah berupaya juga untuk membangun kota Jakarta. Jangan seolah-seolah mereka itu tidak ada aksi atau program-program nyatanya.
Saya dan Mpok Sylvi, apalagi mpok sylvi 31 tahun mengabdi di birokrasi DKI Jakarta, melayani 7 gubernur, bayangkan. Luar biasa.
Ini yang kita harapkan adanya keberlanjutan, kesinambungan, dari periode kepemimpinan satu dan seterusnya, termasuk jika saya dan Mpok Sylvi mendapat amanah untuk memimpin Jakarta.
Sementara, kebijakan dan program-program yang tidak tepat dan tidak relevan lagi tentunya harus kita lakukan perubahan dan perbaikan.
Ini adalah sebuah keniscayaan, karena kita ingin melakukan akselerasi terhadap kemajuan di Jakarta.
Jangan sampai ada kesan, bahwa saya ini anti keberlanjutan, apa yang sudah dirintis oleh sebelumnya pasti akan ditinggal atau dirubah begitu saja. Tidak saya ingin ada keberlanjutan untuk hal-hal yang baik dan dirasakan manfaatnya untuk rakyat. Tetapi kita tahu masih banyak pula yang belum sempurna, masih banyak juga permasalahan di Jakarta ini. Saya tidak akan ragu-ragu, karena saya dan Mpok Sylvi termasuk orang-orang yang gemar berkreasi dan melakukan perubahan. Sekali lagi jangan sampai ada kesan kerja keras dan inisiatif dari gubernur-gubernur sebelumnya dinihilkan begitu saja.
Bapak ibu para sesepuh dan senior,
Itulah visi, komitmen dan program aksi yang akan kami jalankan di Jakarta guna merawat dan menjaga keberagaman kita sebagai bangsa yang majemuk, jika insya Allah Tuhan menakdirkan saya dan Mpok Sylvi untuk memimpin Jakarta 5 tahun mendatang.
Saya berpendapat bahwa harmoni, toleransi dan unity in diversity tak cukup didemonstrasikan melalui parade dan pawai, tidak cukup dipampang dalam spanduk-spanduk besar, ataupun sekedar dijadikan jargon dan retorika seperti “kebhinnekaan harga mati”.
Harmoni, toleransi dan persatuan dalam keberagaman pertama-tama harus terpateri dan bersemi di dalam hati setiap warga negara Indonesia dan diwujudkan dalam kehidupan kita sehari-hari.
Satuju? Satuju?
Menjaga harmoni, toleransi dan keberagaman harus menjadi prioritas dan agenda utama setiap pemimpin dan tokoh masyarakat.
Dalam keadaan apapun kita harus memiliki kepedulian yang tinggi dan mampu bertindak dengan cepat, tepat dan bijak jika ada ancaman terhadap kerukunan dalam keberagaman kita.
Sebelum mengakhiri pidato saya ini, perlu saya sampaikan bahwa sebenarnya Indonesia sering dijadikan sebagai role model atau contoh baik dalam menjaga kerukunan dalam keberagaman (harmony in diversity).
Oleh karena itu, janganlah kita justru mundur kembali ke belakang karena banyak negara di dunia ini yang ingin mencontoh keberhasilan negara kita.
Saya teringat, pada tahun 2009, saya pernah diminta untuk memaparkan tentang success story of Indonesia dalam menjaga kerukunan bangsa di hadapan ratusan mahasiswa Harvard University.
Selanjutnya, pada tahun 2014, saya juga diminta oleh US Army Command and General Staff College untuk berbagi pengalaman sejarah Indonesia dalam menjaga persatuan, kerukunan, dan keutuhan bangsa yang majemuk di hadapan ribuan perwira siswa di institusi tersebut.
Ini menunjukkan bahwa Indonesia dinilai berhasil dalam proses nation building ketika banyak negara yang gagal melakukannya.
Bapak ibu para sesepuh dan senior yang saya cintai dan muliakan,
Dapat saya simpulkan bahwa jikalau hari ini saya ditanya:
“Agus Harimurti Yudhoyono, apakah kamu siap untuk menjaga NKRI dan kebhinnekaan sebagaimana yang diajarkan para senior dan dititipkan warga Jakarta?”
mumpung ada banyak senior, mohon maaf saya intermezo dulu soal “kata siap” ini. Jadi kata siap ada ceritanya sendiri di militer.
Hadirin sekalian, semuanya paham dan sering mendengar, kalau prajurit TNI diberi perintah pasti jawabannya siap. Jawabannya?
Sebenarnya, kata siap itu punya sejuta makna tergantung intonasi jawabannya.
Contoh, biasanya para senior itu sering mengecek kepedulian para yuniornya.
Paling sering itu begini,
“kamu kenal saya tidak?” (…sambil menutup papan nama dibagian dada kanan…
Dengan tegas, Junior menjawab: “siap”
Senior akan mengulangi: “kenal saya tidak”
Junior tetap tegas akan menjawab: “siap”
Lagi, senior bertanya dengan nada melunak; “kenal tidak?”
Junior pun menjawab juga dengan nada lunak: “siaaap”
Akhirnya si senior bertanya dengan nada paling rendah: “siap kenal atau siap tidak?”
Akhirnya junior pun dengan lemas menjawab pasrah: “siap tidak”.
Kembali ke pertanyaan tadi sebelum lupa, jika senior bertanya “Agus Harimurti Yudhoyono, apakah kamu siap untuk menjaga NKRI dan kebhinnekaan sebagaimana yang diajarkan para senior dan dititipkan warga Jakarta?”
Dengan tegas, saya jawab: “saya siap menjaga NKRI dan kebhinnekaan dan saya juga akan siap untuk melanjutkan tugas pengabdian kepada bangsa dan negara”
Meskipun tidak lagi berada di dalam struktur TNI, saya akan tetap mencintai institusi TNI dan Insya Allah, akan terus berupaya memberikan kontribusi nyata kepada TNI, bangsa dan negara yang sangat kita cintai.
Akhirnya, menutup pidato politik ini, sekali lagi saya mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya atas kehadiran para sesepuh dan senior dalam acara ini.
Ucapan yang sama juga saya sampaikan kepada para pemimpin dan pemuka agama serta identitas yang lain.
Kami, generasi yang lebih muda banyak belajar dari kearifan para sesepuh dan senior dalam merajut dan memelihara kebersamaan dan keberagaman kita.
Khusus kepada para sesepuh dan senior dari kalangan purnawirawan TNI & Polri, sebagai generasi yang lebih muda, kami bangga karena Bapak dan Ibu telah menjadi dan memberi contoh dalam kebhinnekaan ini.
Nasehat para sesepuh agar dalam kehidupan bangsa Indonesia, semodern apapun, untuk tidak meninggalkan jati diri dan nilai-nilai luhur atau kearifan dari Pancasila dan bangsa ini, akan terus kami lakukan.
Sekali lagi, kami memohon doa restu dan dukungan Bapak dan Ibu sekalian, agar cita-cita dan perjuangan kami, Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni, untuk melakukan perubahan menuju Jakarta yang lebih baik di masa depan dikabulkan oleh Allah Swt, Tuhan Yang Maha Kuasa.
Mudah mudahan semangat itu adalah semangat perjuangan, perjuangan untuk perubahan menuju Jakarta yang semakin adil.
Hadirin yang saya muliakan, ada tradisi yang harus saya jalankan sekarang ini, diakhir pidato politik yang saya sampaikan, yaitu … menyampaikan sebuah pantun, boleh pantun ya?
Pergi ke Warung membeli roti
Jangan lupa kopi dan susu
NKRI dan Kebhinnekaan harga mati
Mantapkan hati PILIH NOMOR SATU
Terima kasih, terima kasih
Tuhan beserta Kita
Wabillahi taufik wal hidayah
Wassalamu Alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh (A1)
Foto : Feby Kartawijaya