Rasulullah SAW pernah bersabda, orang terbaik diantara kalian adalah orang yang belajar Al Qur’an dan mengajarkanya. Hadits ini selalu terngiang dan menjadi motivasi bagi Awi Mukhtaza, seorang penyandang tunanetra untuk terus mempelajari kitab suci Al Qur’an. Bahkan Awi kini sudah mampu menghafal 18 juz dalam kurun waktu tiga tahun.
Awi adalah seorang remaja yang memiliki kekurangan penglihatan sejak lahir. Putra pasangan bapak Suardi dan ibu Evi Indrawati ini mengawali pendidikan di bangku sekolah hingga lulus dengan menjadi murid di salah satu Sekolah Luar Biasa atau SLB tingkat SD di Pacitan.
Seperti penuturan Awi kepada tim Soko Pena Pondok Tremas, M Maksum dan juru foto Yasin Nur Alim saat ditemui di rumahnya, Desa Arjosari. Kamis (13/9). Dia pernah terbesit untuk melanjutkan sekolah ke SMP, namun tidak diperkenankan oleh ayahnya. Walaupun begitu, dia tetap memiliki semangat untuk terus belajar meskipun tidak harus berada di bangku sekolah.
Atas saran dari salah seorang gurunya di SLB, Bapak Totok. Awi kemudian berangkat ke Semarang Jawa Tengah untuk mempelajari Al Qur’an. Di tempat pembelajaran khusus bagi penyandang tunanetra ini, dia belajar menggunakan Al Qur’an breile yang sengaja diperuntukan bagi kaum tunanetra seperti dirinya.
Di Tempat ini dia belajar selama dua Minggu. Dalam waktu yang cukup singkat itu dia mampu menghafal Juz Amma. Setelah dirasa cukup memiliki modal membaca Al Qur’an dia kemudian kembali lagi ke Pacitan.
Atas keinginannya sendiri dan dorongan dari orang tuanya, pada tahun 2016 dia memutuskan untuk belajar Al Qur’an dan mengikuti program Tahfidzul Qur’an di asrama RMQ Pondok Tremas dibawah asuhan Wan Hizbullah Ba’bud. Berkat ketekunan dan kemauan kerasnya, dia berhasil menghafal 18 juz Al Qur’an.
Kegiatan dia sehari-hari adalah mendaras Al Qur’an dan menghafalkanya di rumah. Dalam satu Minggu dia harus menyetorkan hafalan Al Qur’anya ke Pondok Tremas.
Saat ditanya mengenai metode pembelajarannya, dia hanya menjawab dengan sederhana. “Cukup dibaca terus dan istiqamah pada waktu-waktu tenang, seperti di dalam kamar yang sunyi,” katanya. Kemampuan dia dalam menghafal Al-Qur’an tidak kalah dengan santri-santri lainya.
Menurut Awi, surat yang paling sulit untuk dihafalkan adalah surat An-Nur ayat 31, karena ayat ini cukup panjang. Untuk lagu-lagu dalam bacaan Al Qur’an, dia hanya sebatas mendengarkan rekaman-rekaman murattal Al Qur’an. Saat dia membaca Al Qur’an, suaranya cukup merdu dan enak didengarkan.
Awi sempat berbagi resep bagaimana dia mampu menghafal Al-Qur’an dengan mudah. Menurutnya, rasa malas yang ada dalam diri setiap penghafal Al-Qur’an harus dibuangnya jauh jauh.”Walaupun malas ya harus dipaksa. Wong saya juga kalau malas saya paksa,” ujarnya.
Awi adalah salah seorang penghafal Al-Qur’an yang sederhana. “Motivasi saya hanya sekedar ingin menghafalkan saja. Sedangkan cita-cita saya hanya ingin istiqamah menjaga hafalan saya,” katanya saat ditanya motivasinya belajar Al Qur’an.
Saat di rumah Awi tergolong anak yang rajin. Walaupun dia seorang tunanetra, tapi dia tidak sepenuhnya bergantung kepada orang lain.
Salah satu yang unik dari pribadinya adalah dia hafal betul seluk-beluk di dalam rumahnya. Bahkan dia mampu mengerjakan keperluanya sendiri, seperti mencuci pakaian dan menjemurnya sendiri.
Kisah singkat Awi ini setidaknya menjadi teladan bagi kita bahwasanya untuk menghafal Al Qur’an tidak ada batasan apapun. Tinggal bagaimana kemauan kita untuk berani melawan rasa malas yang ada dalam diri kita masing-masing.
Kalau Awi yang tunanetra saja mampu menghafal Alquran, mengapa kita tidak bisa?