“Bercita-citalah yang besar. Lakukan dari yang kecil-kecil. Sekarang!” Begitu nasihat Pak Dahlan Iskan, guru saya, sekitar 20 tahun silam.
Tiga tahun lalu saya memimpikan hadirnya lembaga pendidikan untuk ekspatriat muallaf yang ingin belajar ngaji. Mimpi itu berangkat dari persoalan kenalan saya, seorang bule yang muallaf dan kesulitan mendapatkan guru ngaji yang bisa berbahasa Inggris.
Bukankan pesantren-pesantren modern sudah melahirkan ratusan ribu alumni yang fasih berbahasa Inggris sekaligus Arab? Mengapa masih ada ekspatriat muallaf yang kesulitan mendapat guru ngaji?
Memang benar banyak alumni pesantren yang menguasai bahasa Inggris dan Arab. Tetapi yang berprofesi sebagai guru ngaji di lingkungan ekspatriat tidak mudah.
Kebetulan, saat itu saya punya seorang karyawati, alumni Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah yang berlatar belakang pesantren. Namanya Oshin karena wajahnya mirip tokoh film anak-anak yang sempat popular saat itu. Harap maklum, Oshin ini berdarah campuran. Ayahnya Jawa, ibunya Jepang. Tinggal di Ciputat, Tangerang Selatan.
Iseng-iseng saya tawari Oshin yang bertugas di perusahaan saya sebagai reporter itu untuk menjadi guru ngaji bagi ekspatriat tersebut. Mula-mula, Oshin ragu-ragu, karena belum pernah menjalankan pekerjaan mengajar. Apalagi mengajar baca tulis Al-Qur’an.
Setelah saya yakinkan beberapa kali, Oshin akhirnya bersedia menerima tawaran saya memberi kursus sekali seminggu di rumah kawan bule saya itu. Setiap pertemuan berlangsung 2 jam.
Rupanya ada 4 orang bule lain yang ikut belajar bersama. Meski tidak menetapkan tarif, setiap bule secara sukarela membayar USD 100 untuk setiap pertemuan.
Dalam sebulan, Oshin mendapat honor USD 1.600. Empat kali lebih besar dibanding gajinya sebagai reporter saya saat itu. Meski demikian, Oshin tidak mau berhenti bekerja meliput berita dengan kamera videonya. Apalagi, kursus itu diberikan pada hari liburnya.
Setelah tiga bulan berjalan, Oshin mendadak mengajukan surat pengunduran diri. Saya bingung, karena tidak ada masalah apa pun dengan pekerjaan Oshin selama ini.
Rupanya, salah satu bule yang menjadi muridnya itu mengajaknya menikah!
Sosok Oshin mendadak terlintas di benak saya, saat bertemu dengan Yazzin, anak muda yang memimpin Kampung Inggris Sawangan, lembaga pesantren berbahasa Inggris di Sawangan, Depok, Jawa Barat, Jumat sore lalu.
Kami bertemu tidak sengaja. Yazzin datang ketika saya dan kawan-kawan mendiskusikan proyek peternakan lele terpadu yang sudah masuk fase konstruksi.
Tumbu ketemu tutup. Begitu kata pepatah Jawa. Mimpi lama itu akhirnya kembali menyala. Kampung lele akan bertemu dengan kampung Inggris, menjadi konsep pesantren agrobisnis untuk siapa pun yang ingin belajar ngaji, bahasa Inggris dan wirausaha.
Usai pertemuan, saya iseng-iseng mengupload foto ke beberapa kenalan saya. Maksud hati hanya untuk menginformasikan adanya pesantren berbahasa Inggris yang unik.
Eh, malah ada yang langsung menyatakan siap mewakafkan tanahnya seluas 1.150 meter persegi di Cimenyan, Bandung, untuk pengembangan pesantren Kampung Inggris. Ibu Emma, pengusaha sukses di bidang konstruksi di Bandung itu, pagi-pagi sudah membalas kiriman saya. “Saya senang dengan ide itu. Saya akan wakafkan tanah saya di Cimenyan seluas 1.150 meter persegi untuk proyek itu. Sekalian saya akan bangun semua fasilitasnya seperti kelas, asrama, masjid, klinik dan fasilitas praktik wirausaha agrobisnisnya,” kata Bu Emma.
Alhamdulillah. Mimpi gratis itu berbuah manis!
JTO