Ada cabe, ada cabai. Dua-duanya pedas. Tetapi beda bentuk, beda manfaat dan beda harga.
Cabe adalah jenis tanaman obat. Namanya dalam bahasa Jawa memang “cabe”. Lengkapnya “cabe puyang” alias “cabe Jawa”.
Cabe banyak diperlukan untuk industri farmasi dan jamu atau obat herbal. Karena kebutuhannya terus meningkat, petani mulai membudidayakan cabe puyang itu dari semak liar menjadi komoditas pertanian.
Hari Minggu sore, sahabat saya dari Jawa Tengah berkunjung ke kantor saya di Tebet, Jakarta Selatan. “Saya bawakan sample cabe Jawa yang dicari pak Joko,” kata Khoirul yang mantan wartawan stasiun televisi nasional itu.
Saya tertegun dengan sample yang dibawanya. Sebab, yang diperlihatkan adalah bubuk berwarna abu-abu gelap di dalam kantong plastik transparan.
“Ini bukan cabai Jawa Pak,” kata saya.
“Lho… Katanya pak Joko butuh cabe Jawa. Ya ini yang namanya cabe Jawa,” potong Khoirul.
Rupanya Khoirul salah tangkap. Saya memang menyampaikan informasi kalau sedang butuh cabai Jawa jenis rawit. Tapi Khoirul menerjemahkan saya sedang butuh cabe Jawa.
“Yang saya perlukan cabai alias lombok alias cengeh alias cengis, bukan cabe,” jelas saya.
Jauh-jauh datang dari Jawa Tengah, rupanya bawa sample yang salah. “Tidak masalah Pak Joko. Sekalian saja, bantu jualkan cabe Jawa ini Pak. Stok ada 80 ton. Boleh dalam bentuk bubuk, boleh dalam bentuk batangan,” kata Khoirul.
.
“Okelah kalau begitu,” jawab saya sembari menulis status ini.[JTO]