Tadi malam (19/5) pada acara debat pendukung Capres dan Cawapres di TV One, Wakil Ketua Umum DPP PAN, Drajad Wibowo mengkritisi keteladanan dan tanggung jawab Jokowi. Kurang lebih ia mengatakan sebagai berikut:
“Seharusnya pemimpin itu yang amanah. Saya mau menceritakan keteladanan Pak Amien Rais. Waktu itu, Pak Amien dipanggil Presiden Habibie dan ditanyakan kesiapannya untuk menjadi presiden. Pak Amien menjawab tidak bersedia, karena beliau sudah bersumpah menjadi ketua MPR sampai 5 tahun. Saya berharap, para pemimpin meneladani Pak Amien”.
Seorang pengurus DPP PPP, Arwani Thomafi mengamini statemen Drajad Wibowo itu. Ia mengatakan, “Ada kesan, baru terpilih sebagai gubernur, tiba-tiba maju sebagai presiden. Di mana tanggung jawabnya?”
Kalimat sindiran dua orang pendukung Prabowo-Hatta itu jelas arahnya ke Jokowi. Tidak hanya mereka berdua, hampir semua pendukung Prabowo-Hatta memainkan isu ini untuk menghantam Jokowi. Mereka menyebut Jokowi tidak jujur, tidak amanah, tidak bertanggung jawab dan lain sebagainya.
Sekarang, mari kita diskusikan pernyataan Drajad Wibowo tersebut. Saya menemukan fakta yang berbeda dari cerita Drajad. Menurut buku BJ Habibie berjudul Detik-detik yang menentukan, di halaman 431-432, diceritakan bahwa setelah LPJ Presiden Habibie ditolak oleh MPR, malam itu juga sekitar pukul 01.30 WIB, semua pimpinan fraksi dan pimpinan partai politik, kecuali dari PDI-P, PKB dan Partai Demokrasi Kasih Bangsa, datang ke kediaman Habibie di Patra Kuningan. Tulisan Habibie selanjutnya sebagai berikut:
“Setelah semua mengambil tempat di pendopo, maka beberapa di antara mereka mengajukan pertanyaan apakah benar bahwa saya tidak bersedia dicalonkan lagi karena pertanggungjawaban saya tidak diterima. Dengan singkat dan tegas saya membenarkan berita bahwa saya tidak bersedia dicalonkan kembali. Saya melanjutkan bahwa jikalau ibu Megawati nanti dipilih menjadi Presiden, maka harus ada tandingannya. Kalau secara aklamasi dan tidak ada tandingannya maka demokratisasi Indonesia akan dipertanyakan dan diragukan orang.
Oleh karena itu di antara bapak-bapak dan ibu-ibu yang hadir di sini harus ada yang mengganti posisi saya untuk dicalonkan sebagai Presiden ke-4 RI mendampingi pencalonan ibu Megawati. Pertama-tama saya bertanya dan mengusulkan Pak Amien Rais yang kita calonkan karena Pak Amien adalah Ketua MPR. Tapi jawaban Amien tidak menyanggupi dan calon tunggalnya adalah Abdurrahman Wahid. Saya menimpali bahwa masalah yang akan dihadapi Presiden nanti sangat banyak dan kesehatan Abdurrahman Wahid tidak mengizinkan, karena beliau tidak dapat membaca, sehingga susah untuk kita pertanggungjawabkan. Bagaimana membaca laporan dan membuat catatan di atas laporan jikalau tidak dapat melihat? Tetapi Pak Amin dengan tegas tetap menyatakan calonnya adalah Gus Dur.”
Dari fakta ini, maka tidak benar kata-kata “Pak Amien menjawab tidak bersedia, karena beliau sudah bersumpah menjadi ketua MPR sampai 5 tahun”. Sebagai akademisi, seharusnya Drajad berhati-hati dalam mengutip. Jangan sembarangan, dan memanfaatkan ketidaktahuan pihak lain. Jangan membelokkan cerita dari yang sebenarnya.
Jadi, Amien Rais tidak maju sebagai capres pada pemilihan presiden di MPR tanggal 20 Oktober 1999, bukan karena sumpah jabatan tetapi karena sudah berkampanye di mana-mana akan mendukung Gus Dur. Bahkan konon katanya, di Pesantren KH. Fuad Hasyim di Cirebon, Amien Rais berani bersumpah di bawah Al-Quran di hadapan para kyai NU, akan bersungguh-sungguh mencalonkan Gus Dur. Sumpah itu diperlukan karena ada kekhawatiran bahwa Amien Rais akan memainkan Gus Dur.
Saat itu, ada asumsi yang mengatakan alasan Amien Rais mendukung Gus Dur karena taktik semata. Diharapkan pada detik-detik akhir jelang pemilihan presiden, Gus Dur mengatakan begini, “Mas Amien, Sampeyan kan tahu keterbatasan saya. Sudah Sampeyan saja yang maju, saya dukung”. Ternyata, strategi Amien Rais itu terbaca oleh Gus Dur, dan Gus Dur tidak mundur sampai waktu pemilihan. Rupanya ilmu politik Amien Rais masih di bawah kelihaian Gus Dur.
Karena kecewa dengan Gus Dur, maka Amien Rais lalu mencari-cari peluang untuk menjatuhkannya. Padahal pemerintahan baru berjalan 1 tahun. Ketemulah isu Buloggate. Kasus Buloggate digoreng oleh Amien Rais dan kroni-kroninya. Sampai akhirnya Gus Dur jatuh. Anehnya, sampai sekarang belum pernah ada putusan pengadilan yang menyatakan Gus Dur terlibat korupsi Buloggate. Jelas-jelas hanyalah permainan politik. Karena itu, para kyai dan warga NU tidak akan pernah melupakan perlakuan Amien Rais terhadap Gus Dur. Maka, pada pemilihan presiden 2004, Amien Rais keok. Jangan berharap orang-orang NU mau mendukung calon dari Muhammadiyah. Ini hal pertama yang saya soroti.
Yang kedua, kenapa para pemimpin harus meneladani Amien Rais, sesuai pesan Drajad? Apakah Amien Rais sosok yang patut diteladani karena amanah? Saya menemukan fakta bahwa Amien Rais juga pernah tidak amanah. Ia pernah tidak menuntaskan jabatannya di Muhammadiyah. Pada Muktamar Ke-43 Muhammadiyah di Banda Aceh, bulan Juli 1995, ia terpilih sebagai ketua umum PP Muhammadiyah. Pada pemungutan suara hari Minggu, 9 Juli 1995, ia meraih 1.245 suara dari 1.381 suara pemilih. Seharusnya, ia memimpin Muhammadiyah selama 5 tahun (1995-2000). Tetapi, belum sampai selesai masa jabatannya ia tergiur dengan jabatan di dunia politik. Pada hari Sabtu, 22 Agustus 1998, ia mengundurkan diri dari Muhammadiyah lalu mendirikan partai politik yang bernama Partai Amanat Nasional (PAN).
Yang ketiga, jika meninggalkan jabatan untuk mengabdi di tempat lain disebut tidak amanah, maka harusnya Drajad Wibowo berani mengatakan bahwa Hatta Rajasa sendiri tidak amanah. Sebab, ia tidak menuntaskan jabatannya sebagai menteri koordinator bidang perekonomian sampai berakhirnya pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu II pada tanggal 20 Oktober 2014.
Yang keempat, jika meninggalkan jabatan untuk mengabdi di tempat lain disebut tidak amanah, seharusnya Drajad Wibowo berani mengatakan anggota DPR/DPRD dari PAN yang mencalonkan diri sebagai gubernur / wakil gubernur / bupati / wakil bupati / walikota / wakil walikota / duta besar / hakim konstitusi / hakim agung, mereka semua tidak amanah.
Janganlah, predikat “tidak amanah” disematkan kepada orang lain, sementara terhadap diri sendiri atau kelompok / golongannya tidak diberlakukan. Pepatah Arab menyebutkan:
لا تنه عن خلق وتأتي مثله، عار عليك إذا فعلت عظيم
“Jangan Kau larang orang lain melakukan suatu perbuatan, tetapi Kau melakukan hal yang sama. Sungguh suatu aib yang besar jika Kau lakukan hal tersebut”.
Janganlah hanya bisa menyuruh orang lain untuk amanah, tapi diri sendiri atau kelompok / golongannya tidak bisa amanah. Firman Allah dalam Surat Al-Baqarah (Ayat 44): “Mengapa kalian menyuruh orang lain mengerjakan kebajikan tapi kalian melupakan diri sendiri, padahal kalian membaca kitab, maka tidakkah kalian berpikir?”(Dalam bahasa Jakarte, emang loe kagak mikir…)
Lupakah Drajad Wibowo dengan firman Allah dalam Surat Ash-Shof (Ayat 2-3): “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian kerjakan.”
Beginilah, jika memaknai amanah dari sudut pandang yang sempit. Saya sendiri tidak sepakat dengan pola pikir Drajat Wibowo. Bagi saya, apa yang dilakukan oleh Jokowi adalah intiqal min hasan ila ahsan, berpindah dari perbuatan baik menuju yang lebih baik.
Menjadi gubernur DKI adalah pengabdian kepada rakyat. Menjadi presiden juga pengabdian kepada rakyat. Bedanya, menjadi presiden lebih besar kekuasaannya. Alangkah mulia, orang yang mau menyambut dan menyongsong tanggung jawab yang lebih besar demi pengabdian kepada rakyat dan memberikan kemanfaatan yang lebih besar. Bukankah tuntunan agama mengajarkan, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling memberikan manfaat buat orang lain”. Tentu memberikan manfaat kepada seluruh rakyat Indonesia lebih baik daripada hanya memberikan manfaat kepada rakyat satu provinsi saja.
Coba kita lihat regulasinya, dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 110 Ayat (2) disebutkan: “Sumpah/janji kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut: “Demi Allah (Tuhan), saya bersumpah / berjanji akan memenuhi kewajiban saya sebagai kepala daerah / wakil kepala daerah dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada masyarakat, nusa dan bangsa”. Di mana ada kata “5 tahun” yang mengikat seorang gubernur harus menyelesaikan masa jabatannya?
Kalau yang dilakukan Jokowi dan pejabat-pejabat itu dianggap salah, saran saya, silakan mengusulkan kepada DPR supaya mengamandemen peraturan perundang-undangannya. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, acuan kita adalah Undang-Undang. Selama tidak ada pasal yang melarang gubernur yang belum selesai masa jabatannya untuk mencalonkan diri sebagai presiden, maka tidak perlu diangkat menjadi persoalan.
Kita tidak bisa beralasan karena soal etika atau moral, sebab pemahaman baik atau tidak baik tiap orang itu relatif, tidak sama. Sesuatu yang dianggap baik menurut PAN, belum tentu baik menurut PDI Perjuangan. Karena itu, rujukannya harus berbentuk peraturan perundang-undangan.
Ke depan, supaya tidak ada lagi pejabat yang mencalonkan diri untuk jabatan lain, seperti dilakukan Jokowi, maka solusinya adalah diberlakukannya pemilihan umum secara serentak dan bersamaan untuk memilih anggota DPR/DPD/DPRD, Presiden, Gubernur dan Bupati/Walikota. Sehingga pejabat yang habis masa jabatannya di suatu daerah atau di tingkatan tertentu bisa maju mencalonkan di daerah dan tingkatan lain. Selama belum ada aturan yang mengatur itu, maka hukumnya boleh apa yang dilakukan Jokowi sekarang ini.
Saran saya buat Drajad Wibowo, berpikirlah positif. Jangan karena urusan politik yang sesaat, lalu hilang akal sehat sehingga rakyat yang menjadi korbannya. Sebagai orang yang berpendidikan, seharusnya Drajad menunjukkan sikap kenegarawanan. Kembalilah kepada Konstitusi. Selama tidak ada larangan bagi seorang gubernur di suatu tempat untuk mencalonkan diri sebagai presiden, maka tidak perlu dipersoalkan.
Dan kepada para pendukung Prabowo, sebaiknya isu semacam ini tidak perlu dibesar-besarkan. Pertama, karena tidak ada pelanggaran terhadap konstitusi. Kedua, karena bisa menjadi bumerang bagi mereka sendiri. Kenapa baru sekarang diangkat menjadi persoalan oleh kubu Prabowo? Bukankah dua tahun lalu, Jokowi meninggalkan jabatan di Solo, tetapi kenapa kubu Prabowo tidak menjadikannya sebagai masalah, bahkan mendukung habis-habisan?
Sumber: Kompasiana.com