Indonesia memiliki banyak varietas padi lokal yang bagus. Menghasilkan beras pulen, wangi dan empuk. Hari ini saya melihat 3 di antaranya: dari Jawa Barat, Banten dan Bali.
Sampai sekarang, masyarakat adat di pedesaan tiga provinsi itu masih terus menanam padi lokal dalam jumlah terbatas. Meski, padi tersebut membutuhkan waktu panen yang lama dan biaya penanaman yang mahal.
Alasannya sama: menjalankan wasiat leluhur. Benih padi tersebut dinilai sebagai warisan karena hasil pemuliaan nenek moyang petani di 3 provinsi itu sejak ratusan tahun lalu. Sebagai penghormatan kepada leluhur, masyarakat adat terus melestarikan padi itu, agar tidak punah.
Problem utama padi lokal berkualitas tinggi itu ada pada batangnya yang tingginya hingga 2 meter dan waktu panennya yang mencapai 8 bulan. Batang yang terlalu tinggi membuat padi mudah rebah atau patah bila tersapu angin. Waktu panen yang lama membuat biaya produksinya mahal.
Solusinya, harus ada teknologi untuk memperbaiki sifat padi lokal agar batangnya lebih pendek dan umur panennya lebih genjah, tetapi tidak boleh mengubah sifat aslinya seperti berasnya harum, pulen dan empuk. Produksi bulirnya juga tidak boleh berkurang.
Di Batan, saat ini telah berhasil dikembangkan 23 varietas padi bibit unggul yang berasal dari padi lokal. Tiga di antaranya: mustajab (Jawa Barat), mustaban (Banten) dan barak cempaka (Bali).
Ketiga varietas bibit unggul itu sudah mulai dilepas ke masyarakat. Bekerjasama dengan perusahaan pembenihan, bibit itu mulai diproduksi secara massal dalam skala komersial.
Ujicoba tanam dalam skala komersial sudah dimulai. Antara lain di Penebel, Tabanan, Bali dan di Pandeglang, Banten. Hasil panen perdana dan kedua tercatat rata-rata 14 ton dan 12 ton.
Program pemuliaan tanaman padi merupakan program warisan era Presiden SBY yang masih terus dijalankan sampai sekarang.