Lansekap online gempar. Gara-gara hasil riset media oleh Profesor Hsiang Iris Chyi dan Ori Tenenboim, yang laporannya kemudian dimuat di jurnal Journalism Pratices edisi Oktober 2016 silam. Mendadak sontak, ada kesadaran di kalangan praktisi media skala global: Bahwa online ternyata bukanlah masa depan media cetak. Keputusan kalangan penerbit untuk memperluas akses distribusi kontennya dengan membangun web channel, dianggap adalah kesalahan kolosal. Online tidak terbukti (setidaknya, belum saat ini), akan bikin bisnis Koran sustain dan relevan ke depan.
Dalam laporan disebutkan: kajian atas 51 Koran terkemuka AS tadi menunjukkan, eksperimen media yang menawarkan layanan akses berbasis online, terbukti gagal. Readership Koran online, sejak 2007 hanya bertumbuh sedikit –jika tak boleh dikatakan tak mengalami pertumbuhan signifikan. Bahkan lebih dari separoh di antaranya, grafiknya terus menurun sejak 5 tahun silam. Bahkan di data mutakhir tahun 2015, tercatat, jumlah pengakses via online maksimal ternyata hanya sepertiga dari total jumlah pembaca Koran edisi cetak.
Ada juga temuan ini: Applikasi, algoritma, platform digital, ternyata belum terbukti meningkatkan jumlah readership. Bahkan juga tak terbukti berkontribusi mendongkrak secara signifikan, pendapatan media berbasis online . Strategi digital first, juga disimpulkan adalah strategi yang menyesatkan arah bisnis. Karena kunci membangun masa depan Koran, malah justru ada di kekuatan masa lalu Koran. Nasib Koran ke depan, dikatakan tidak berada di keunggulan aspek teknologi, gadget dan platform digital.
Kesimpulannya, strategi membangun web, dikatakan adalah strategi sia-sia. Justru menggerogoti kekuatan utama Koran. Justru mengorbankan potensi bisnis Koran yang luarbiasa: konten, pembaca, pelanggan dan pengiklan.
Digital First Strategy = Strategi yang Keliru?
Tak pelak, hasil kajian yang dilakukan selama periode 2007 sampai tahun 2015 atas 51 label Koran terkemuka di Amerika tersebut, menyebabkan rumusan “Digital-First Strategy”, kembali digugat ramai-ramai. Ekses berlanjutnya: asumsi bahwa Koran akan terbunuh oleh Internet, juga semakin diragukan.
Pun, pengartian bahwa terjadinya deklinasi pembaca Koran fisik adalah pertanda bisnis Koran sudah sunset, kini pun semakin dipertanyakan ulang kebenarannya.
Sebab, ternyata pendapatan iklan, pertumbuhan audiens, pembaca & pelanggan, pun sirkulasi Koran fisik, tidak terbukti sedang “menderita”. Sebaliknya, grafiknya tetap dinamik. Buktinya, dibanding revenue yang berasal dari Koran, pendapatan iklan online justru malah tak bertumbuh.
Profesor Chyi, sebelum ini telah beberapa kali menggemparkan lansekap media, dengan berbagai temuan risetnya. Dalam bukunya Trial and Error: U.S. Newspapers’ Digital Struggles toward Inferiority misalnya, Prof Chyi pernah menyampaikan statement menggemparkan. Bahwa berharap bahwa Internet, kelak akan menjelma menjadi platform berita di media online, adalah keliru.
Chyi sebelum ini namanya juga popular lewat rumusan Ramen Noodles Theory –nya. Yang menganalogikan berita di media online diibaratkannya seperti mie Ramen Jepang –hangat, bisa disajikan secara cepat, cita-rasanya lezat, tapi secara kandungan gizi, tak bermanfaat. Sementara berita di Koran, dianggap lebih bermutu. Diibaratkannya seperti hidangan steak dengan daging kelas pilihan.
Silakan klik tinjauan lengkapnya di link ini.
Berikut adalah sejumlah pointer yang bisa dipetik, sebagai hikmah dari fakta-fakta temuan riset Chyi-Tenenboim tadi:
Anggapan Internet akan membunuh Koran, ternyata keliru. Secara bisnis pendapatan via online, ternyata belum bisa mengkompensasi hilangnya revenue dari media cetak. Boro-boro bikin profit. Atau bisa menghasilkan pendapatan bisnis sebesar dan secepat, seperti yang selama ini digembar-gemborkan. Produk media cetak yang digambarkan makin melemah pengaruhnya, sampai sekarang terbukti masih menjadi the primary revenue driver. Makanya, justru belakangan makin berkembang kekhawatiran, online media akan tiba di akhir masa senjakala-nya, lebih cepat, dari yang banyak diduga.
Potensi problem online, tak dikritisi. Diduga karena motif tendensi, sentimen dan sikap apriori, terlanjur tumbuh keyakinan, bahwa era media konvensional, akan dilibas yang serba-digital. Kecepatan, kemudahan, kepraktisan, efisiensi, efektivitas dan real-time, menjadi peyakinnya. Akibatnya, saat membandingkan perkembangan bisnis Koran fisik terhadap prospek media online, tak dicermati mana cash-cow mana problem child. Ekses dan efek negative online, seakan dinafikan. Sementara penyusutan pendapatan Koran, dibaca secara hiperbolik. Ketika data faktual mencatat temuan sebaliknya, keterkejutan secara kolosal, tak terhindarkan.
Logika zero-sum-game, tak terbukti. Fakta terjadinya penyusutan pembaca Koran, tidak bisa dibaca secara simplistik: otomatis pembaca Koran bermigrasi ke online. Sehingga juga tak bisa dibaca sebagai: terjadi penurunan audiens Koran. Karena audiens-nya Koran, ternyata hanya terbagi. Terpilah-pilah ke pasar hyper-sempit. Logika grafik Long Tail, paling pas menjelaskan yang sebenarnya sedang terjadi.
Aspek lokal, lokasi, lokalitas dan pelokalan, masih terkesan diremehkan.Online kebanyakan masih dimaknai sebagai koneksi secara mass. Menjangkau kapan saja, ke siapa saja, dimana saja, dengan pakai piranti apa saja. Akibatnya istilah ‘lokal’, pemaknaannya masih dianggap asosiatif dengan ‘sempit’. Dan pasar yang ‘sempit’ (niche-market), dibaca secara meremehkan: ukuran peluang dan kedalaman potensinya ‘sedikit’. Akibatnya, yang fokus berorientasi menggarap pasar sempit dan lokal, dianggap dengan sebelah mata. Diremehkan. Tak dianggap potensial. Padahal ‘Local is the new global’ .
Antar-medium, terbukti tak saling menggerus, apalagi meniadakan. Dalam realitanya, yang terjadi adalah fenomena co-exist. Dari berbagai keunggulannya, online ternyata tetap punya keterbatasan. Koran yang mengkompensir. Sementara dari berbagai kekurangan Koran, ternyata perannya tetap relevan dan powerful di pasar spesifik. Sukses Pilpres yang mengantar Obama menjabat Presiden AS dampai dua periode, adalah fakta sejarah. Koran sebagai kunci basis keunggulan kandidat Presiden dari kubu Demokrat Hillary Clinton di Pilpres AS 2016, adalah bukti tak terbantah.
Orientasi tinjauan perilaku pembaca media (khususnya Koran), cenderung mendiametralkan antara konvensional versus digital/new media. Potensi pasar hybrid, cenderung dinafikan. Padahal riset Chyi membuktikan, pasar pembaca print secara fisik, masih lebih banyak dari pasar hybrid, lebih besar daripada pengakses online.
Fenomena terjadinya penurunan (declining) bisnis Koran, dibaca secara terlalu simplistik. Akibatnya, kesimpulan yang diambil, cenderung kelewat menyederhanakan. Misalnya: penurunan angka sirkulasi dan pendapatan iklan Koran, dianggap bukti tak terbantah, bahwa bisnis Koran sudah senja. Sunset. Jelang tamat. Lupa mengkritisi bahwa online yang dikatakan sedang sunrise, ternyata malah tak bertumbuh. “…these major newspapers’ online readership has shown little or no growth since 2007, and more than a half of them have seen a decline since 2011,’’ laporan Chyi-Tenenboim mencatat.
Perbedaan aspek penghitungan (measurement), cenderung diabaikan. Padahal, data angka, dipengaruhi alat, cara, logika survey, pun apanya yang disurvey dan siapa yang menyurvey. Antara logika readership Koran, terhadap misalnya, click, unique-visitor, pageview, perbedaan esensialnya selama ini diabaikan. Besaran pengukuran tadi, cenderung dipergunakan secara salah-kaprah. Padahal dampak pada angka pengukurannya menjadikan cenderung inflatif terhadap realita-kenyataannya. Sehingga menghasilkan simpulan yang distortif, bahkan sesat.
Euphoria online media, kerap membuat praktisi media salah baca. Sehingga bikin blunder secara kolosal di level global. Dikira, media yang bermigrasi ke online, menjadi lebih berpeluang dekat secara akses bagi publik. Berpotensi lebih kerap dijangkau. Lebih banyak dikunjungi. Semakin dikonsumsi. Faktanya kita semua salah baca: sebagai ekses dari makin populernya applikasi, maka konsumen media, sesungguhnya berkerumun di pintu applikasi, yang platformnya dikontrol Google, Apple, Facebook, Amazon dan teman-temannya. Fenomena algoritma, programmatic advertising, logika robot, ternyata semakin menjadikan media terpuruk. Keunggulan produksi konten, akses distribusi dan revenue stream-nya, sudah dibajak.
Link dari artikel berjudul The End of the News as We Know It: How Facebook Swallowed Journalism ini, mungkin bisa menjadi perspektif.
Media Online Dipersepsi sebagai Inferior Good
Hasil kajian Chyi dan Tenenboim tadi, mudah-mudahan tak berhenti dipersepsi, sekadar hanya sebagai temuan yang dilabeli mengada-ada. Senasional. Tapi tak berfaedah. Apalagi mengubah kesalahan yang secara salah-kaprah masih dilakukan.
Justru, berbagai data tersebut, harus dibaca sebagai tanda, penanda, pertanda. Jangan-jangan kita semua memang selama ini salah baca. Menganggap kemudahan adalah peluang. Padahal jebakan. Mengira yang praktis, pasti menguntungkan. Padahal bikin tergantung dan kita dikendalikan. Dan mengira teknologi, dan medium online, adalah jawaban masa depan media. Padahal, jika salah memahami arahnya, malah jadi musibah kolosal.
Menarik, ketika Chyi dan Tenenboim di bagian kesimpulan laporannya mengingatkan, bahwa yang harus diwaspadai adalah, bahwa pengguna media masih mempersepsi online news media, dengan istilah an inferior good. Dibanding Koran, versi online dianggap belum bisa memberikan kepuasan. Problem terkait cluttered design, kemudian perasaan annoying karena periklanan online, serta masalah kredibilitas dan trust atas konten, adalah di antara yang dikeluhkan terhadap media online.
Sebaliknya, riset Chyi-Tonenboim mencatat, betapa pengguna menautkan harapan tinggi kepada Koran. Karena di mata penggunanya, Koran dikatakan tetap dianggap sebagai sumber informasi utama yang paling bisa diandalkan. Dinilai bisa konsisten menjaga jurnalisme yang bertanggung jawab –peran yang belum sepenuhnya bisa digantikan oleh jurnalisme online. Link ini pernah membahasnya.
Koran juga dianggap benteng jurnalisme terakhir. Yang dinilai masih bisa melindungi hak dan harkat masyarakat. Dari kesewenang-wenangan dan arogansi aparat. Serta praktik korup korporasi dan yang sedang berkuasa. Hal yang sudah mulai menjadi keluhan audiens di Indonesia juga.
Pekerjaan rumah berikutnya, bagaimana praktisi Koran konsisten, persisten dan konsekuen, dengan itu. \kris moerwanto.